Jumat, 15 Maret 2013

Tradisi Egaliter Orang Sunda

Tradisi Egaliter Orang Sunda PENGARUH Hindu dan Budha datang ke pulau Jawa sekitar awal abad masehi dan daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini nampaknya kurang begitu kuat merekat pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tunggal. Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkais yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat tinggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda. Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan karena konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan yang mutlak yang mesti mendapat anutan karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Kepatuhan kepada raja secara militan selain berasal dari inti ajaran Hindu- Budha itu sendiri juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi yang muncul dalam masyarakat Jawa yang membuat dikotomi sosial secara tegas antar kelas seperti ningrat atau priyayi dan wong cilik. Pengahayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya pengkelasan sosial secara tajam ini berakibat pada sulitnya atau tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran. Oleh karena itu sifat dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan keraton di mana keraton berfungsi sebagai titik sentral agama, politik dan kebudayaan. Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan dalam pembentukan suatu varitas budaya. Jenis kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis sementara kebudayaan Sunda dapat dianggap sebagai kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan pada kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis masa pra-Mataram dimana tidak hierarki bahasa seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Istilah menak dan cacah juga dalam masyarakat Sunda ditemukan sebagai bentuk pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Jawa di tatar Priangan sejak masa kekuasaan Mataram. Contoh lain yang dapat diajukan dalam mempertegas pendapat ini adalah dalam seni pewayangan atau pedalangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan prilaku-prilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan atau pedalangan yang memainkan dua epos besar tadi hanya merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa orang Sunda merupakan kelompok yang paling akhir menerima Islam di seputar tanah Jawa, ini bukan berarti sifat konfrontatifnya terhadap Islam, melainkan karena sosialisasi Islam yang agak terlambat ke wilayah ini. Gabungan fenomena di atas yaitu egalitarianisme masyarakat Sunda, komunikasi yang sejajar (demokratis) antara raja dan rakyatnya serta dikuatkan oleh pengaruh Islam yang luas setelahnya menjadi alasan sosial tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi penguasa rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar