Jumat, 15 Maret 2013

Relasi antara Budaya Islam dan Budaya Sunda

Relasi antara Budaya Islam dan Budaya Sunda Oleh ENUNG SUDRAJAT Meuncit meri dina rakit Boboko wadah bakatul Lain nyeri ku panyakit Kabogoh direbut batur SEBAGAI bagian dari kreativitas orang Sunda, paparikan di atas termasuk jeprut, kalau dilihat secara bahasa. Tapi dalam pandangan axiologis paparikan tersebut terasa fenomena ekologis terlihat pada hubungan kata meri, rakit dan boboko, makna ekologis yang berdimensi antropologis bisa ditelurusi jika meri dinisbahkan kepada hewan Ovivar yang hidup di daerah basah (Lendo). Rakit dan boboko mempunyai bahan yang sama yaitu bambu (biasanya hidup pada ketinggian 100-500 dpl, daerah ini biasanya berada di antara gunung (bukit) dan penampung air (susukan). Bakatul sebagai bagian dari penggilingan padi setelah dipilih (diayak) dinisbahkan bahwa dalam proses tersebut terdapat proses yang sinergis antara unsur tektur tanah, air, perilaku manusianya. Kebudayaan jika ditafsirkan sebagai hasil kreativitas manusia (perilaku manusia) ketika berinteraksi dengan lingkungan, menghasilkan simbol-simbol, mempunyai wujud (material) juga nilai. Sebagai suatu simbol dari kreativitas manusia, rakit, meri dan boboko selalu berhubungan dengan air dan tanah basah dan bukit. Jika suku Sunda/Priangan menurut Yakob Sumarjo terbagi antara Sunda Gunung dan Sunda Air, maka paparikan di atas kemungkinan dibuat di daerah Sunda Air (Priangan). Dengan demikian maka hasil kreativitas tersebut berwujud useup, ayakan, dan boboko sebagai alat untuk memudahkan kerja dalam kehidupan. Secara antropologis fenomena paparikan di atas mempunyai makna bahwa orang Sunda Air, menurut Yakob Sumarjo, mempunyai semangat egaliter. Semangat egaliter pada masyarakat Sunda Air dibuktikan dengan jenis pekerjaan seperti bertani, berdagang bahkan pada kasus mikung sering terjadi proses imitasi dan adopsi yang dilakukan warga masyarakat dalam konteks perkembangan ekonomi sehingga kemudian kadang-kadang terjadi diferensiasi sangat cepat. Diferensiasi pada masyarakat Sunda walaupun berjalan cepat, tidak sampai mengganggu sistem kekerabatan (patron klien). Model sistem ini masih terjadi pada masyarakat desa seperti pada sistem pengolahan tanah yang sering disebut maro/nengah. Model ini sebagai upaya pembagian kesejahteraan kepada kerabat yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, di mana pembagian hasil padi dibagikan pada saat panen tiba dan tidak berbentuk imbalan uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar