Jumat, 15 Maret 2013
“Nguyang”, Penafsiran Lokalitas Sunda Atas Islam
“Nguyang”, Penafsiran Lokalitas Sunda Atas Islam
Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI
Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab, jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab (Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi).
PERTEMUAN Sunda-Islam dalam perspektif kultural tidak bisa dipandang sebagai pertemuan yang sederhana karena Islam hadir sebagai agama, bukan sekadar representasi kekuatan politk atau budaya belaka. Agama senantiasa (diyakini) hadir dalam wujudnya yang lengkap, sufficiently. Kehadiran Islam sebagai tata nilai yang dianggap telah lengkap tersebut berhadapan dengan tata nilai dan kearifan lokal Sunda yang juga dianggap telah lengkap (sufficiently well) oleh masyarakat Sunda, telah teruji oleh sejarah bangsanya.
Pertemuan dua tatanan nilai (Sunda dan Islam) tersebut dalam proses budaya tidak berakhir dengan kebekuan karena sebagai tata nilai yang adi luhung tentunya memiliki kearifan dan keterbukaan untuk melakukan “negosiasi”. Sikap keras kepala dan tertutup dari suatu tata nilai tertentu terhadap tata nilai yang lain hanya memperlihatkan keterbelakangan dan ketidaklengkapannya, insufficiently.
Hasan Mustapa, sebagai representasi local-genius budayawan Sunda dan sekaligus sebagai representasi dari elite dan pemikir agama (kiai), telah mentransformasikan pertemuan Sunda-Islam ini ke dalam dirinya. Ia menjadikan dirinya sebagai lokus dan sekaligus sebagai subjek aktif bagi terjadinya dialog bagi kedua sistem nilai tersebut. Dalam proses transformasi tersebut, Hasan Mustapa menenggelamkan dirinya dalam lapisan-lapisan sejarah pembentuk kedua tata nilainya itu. Hal tersebut terungkap dalam pernyataan, “Kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab (Aku menyundakan Arab dengan datang ke Arab mengarabkan Sunda dari bahasa Arab).”
Yang dilakukan Hasan Mustapa bukan Islamisasi Sunda, tetapi mempertemukan dua kearifan (Sunda dan Islam) untuk ditemukan titik temu dan dialami sebagai bagian integral dari dirinya, tanpa mengakibatkan kesan-kesan hegemonik satu atas yang lainnya.
Hasan Mustapa menjadikan dirinya sebagai pelaminan dari perkawinan antara Guru Minda (representasi kearifan nilai-nilai langitan, Arab atau Islam yang fatrilineal) dan Purbasari (kearifan nilai-nilai lokal Sunda yang matrilineal) atau apa yang disebut teologi Asianya Aloysius Pieris sebagai nilai-nilai soteriologis metakosmik dan soteriologis kosmik. Perkawinan yang melahirkan nilai baru yang mereferensi dan bersumber pada nilai-nilai lama, baik Islam maupun Sunda. Sebuah perkawinan tentunya bukan suatu proses penaklukan satu atas yang lain, melainkan proses yang berawal dari, melalui proses dan berakhir dengan saling memahami dan saling menghargai.
Dengan prosesi nguyang ka Arab dan ngarabkeun Sunda tina Basa Arab, Hasan Mustapa berusaha membangun kesetaraan pengalaman bahasa, antara bahasa Sunda dan bahasa Arab yang merupakan bahasa formal Agama Islam. Dengan nguyang ka Arab Hasan Mustapa melihat bahasa Arab, sebagai bahasa formal Islam, tidak sekadar sebagai kenyataan leksikal yang tercerabut dari konteksnya, melainkan kenyataan dari lipatan-lipatan pengalaman sejarah yang berhubungan dengan biografi Islam-Arab. Baru setelah itu, Hasan Mustapa melakukan proses ngarabkeun Sunda tina basa Arab.
Bahasa Arab yang telah dialami Hasan Mustapa dengan proses nguyang ka Arab tersebut “dipertemukan” dengan pengalamannya sebagai seorang Sunda yang sejak lahir merupakan bagian integral dari diri dan kehidupannya. Dengan demikian, pertemuan yang terjadi dalam diri Hasan Mustapa bukan sekadar pertemuan formal kebahasaan (makna leksikal), tetapi bertemunya dua bahasa sebagai kenyataan pengalaman, pengalaman Arab-Islam, dan pengalaman Sunda dengan seluruh lipatannya sehingga melahirkan pengalaman Sunda-Islam, dalam pengalaman bahasa.
Nguyang merupakan istilah teknis dalam paradigma efistem Hasan Mustapa, sebagai proses mengalami Islam dan Sunda melalui demitologisasi Islam sehingga Islam dan Sunda bertemu melalui dan dalam kesamaan pengalaman bahasa, bukan kesamaan leksikal. Dalam konteks ini, Hasan Mustapa tidak melihat bahasa sebagai sekadar instrumen komunikasi yang tunduk terhadap kaidah-kaidah bahasa dan kaidah rasio belaka, melainkan sebagai pengalaman terhadap realitas yang memiliki unsur intensionalitas. Karena proses demitologisasi tersebut, terjadi dalam pengalaman bukan dalam “pemikiran’ (intellectual investigation), proses demitologisasi tersebut tidak kemudian mengakibatkan instensionalitas Islam mengalami reduksi.
Oleh karena itu, wajar bila Hasan Mustapa tidak pernah merasa gamang mentransformulasikan pemahaman keislamannya dengan menggunakan term dari bahasa Arab dengan rasa bahasa Sunda dan tidak jarang menggunakan cerita-cerita mitologis yang hidup dalam masyrakat Sunda yang merupakan formulasi nalar masyarakat Sunda.
Sebagai contoh, dalam naskah Bale Bandung, Hasan Mustapa mendeskripsikan konsep pencapaian Kesempurnaan Manusia (Insan Kamil) yang disimbolkan oleh tokoh mitos Sunda Munding-Laya Di Kusumah yang telah mampu membinasakan tujuh Guriang yang merupakan ilustrasi terlewatinya tujuh tingkatan (maqamat) dan mendapatkan Lalayang Domas. Dengan menggunkan ilustrasi Munding-Laya Di Kusumah tersebut,
Penggunaan epistem (nalar) kesundaan dalam menafsir pemikiran keislaman. Dalam hal ini konsep ketasawufan adalah dengan mempertemukan pengalaman batin Ki Sunda dengan pengalaman bathini ketasawufan, Islam.
Dengan kata lain, pengalaman kebertemuan dengan realitas Illahi dalam diri manusia, merupakan kenyataan universal, bukan merupakan otonomi suatu tradisi keberagamaan saja. Pengalaman keberagamaan, yaitu pengalam “kebertemuan” dengan Yang Iilahi, merupakan milik semua manusia yang bisa diungkap atau diekspresikan oleh siapa pun dan dalam bahasa bangsa mana pun. Sunda, dengan berbagi aspek dan lapisan budaya serta tradisinya (termasuk bahasa), secara kodrati terlahir sebagai pengalaman bathini manusia Sunda dalam mengalami alam dan kehidupannya yang merupakan penampakan Nan-Ilami.
Oleh karena itu, agama apa pun dan budaya serta tradisi apa pun, dalam paradigma dan nalar Hasan Mustapa, lebih dilihat sebagai wadah dari pengalaman bahasa (ekspresi) dari pengalaman kebertemuan dengan Nan-Illahi dalam dirinya.
Sikap lupa terhadap asal sebagai manusia (Sunda) dalam sebuah proses pencarian identitas, akan membuat manusia terjebak dalam lingkaran tanpa ujung (kasarung). Demikian pula ketika pencarian identitas diri itu dipijakkan pada lokus keislaman, bila itu dilakukan dengan tidak merujuk pada pengalaman kebahasaan, melainkan hanya terjebak pada makna bahasa secara leksikon, keadaannya menjadi sama.
Sebagai contoh, Hasan Mustapa mengilustrasikan prosesi pengalaman term “Allah” sebagai nama sekaligus simbol dari Tuhan yang dilakukan orang pada umumnya (non-Arab). Kata atau nama “Allah” adalah bagi Masyarakat Sunda merupakan istilah yang asing bila hanya terjebak dalam makan bahasa leksikon. Bila itu terjadi, orang akan dihadapkan pada kebingungannya dan ketidakmengertian yang tidak berujung pangkal. Hasan Mustapa mengingatkan tentang kecenderungan manusia yang cenderung terjebak dalam lingkaran tanpa ujung ini, “Tungtungna ngahurun balung, Guru bukur malar bukti, rek nyaba jeung Allah saha, kacapangan ya Illahi, he Allah Gusti kaula, di nu negrak di nu suni, baluas da kurang awas, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna, nuding kanu lain-lain, pahili nu dipieling, lahir dituding ati, batina ditorah rasa, moal salahir sabatin.”
Dangding-dangding tersebut menggambarkan keterjebakkan orang pada maknawiah, apa yang tampak dalam bahasa (leksikon), lupa terhadap kenyataan ma’ani bahasa (intensionalitas makna), bahasa sebagai pengalaman batin, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna karena (dalam dangding lain) matangankeun nu ngabukti. Demikian juga ketika pemaknaan bathin terhadap kata dan nama “Allah” yang tidak mereferensi penalaman bathin diri sendiri, sebagai anak dari pengalaman bangsanya. “Tah kitu yataroddadun, da bongan piroebihim, katambias parahuna, kerok miriwinci hiji.
Yataraddadu.” Suatu keadaan seseorang yang melakukan perjalanan (perenungan) yang tidak berpijak secara benar (utuh) sehingga ia berputar-putar tidak menemu akhir karena tidak mermula dari awal yang tentu. “Kasarung turut lulurung, balik deui balik deui, sasab dina sisimpangan, ceurik deui ceurik deui, midangdam neangan Allah, ceurik deui ceurik deui.” Kesemuanya itu terjadi karena keterjebakan orang pada apa yang disebut Hasan Mustapa sebagai keterjebakan dalam makna leksikon dari kata Allah. “Bukurna nu dipibingung, pahili ku barang hiji, nyawa kaleungitan rasa, lawas kalindih panglandi.”
Menurut Hasan Mustapa, jalan keluar keterjebakan ini yaitu dengan masing eling ka wiwitan, mangka awas ka wekasan (harus ingat pada asal, harus ingat pada akhir), dengan memastikan awal dan akhir dari suatu proses pencarian makna dan jati diri, top ti mana mimitina? Mana panganggeusanana?
Bagi masyarakat Sunda-Islam yang masih menjadikan kesundaannya sebagai identitas dan bagian integral dirinya, Islam dipandang sebagai lokus yang memberikan ruang formal sebagai penyempurna dalam mewadahi pengalaman batin dan nilai-nilai kearifan lokal dan pengalaman batin masyarakat Sunda.
Hasan Mustapa mengingatkan tentang relasi pengalaman diri dalam lokus lokalitas dengan agama sebagai kenyataan dalam kehidupan manusia harus dipertemukan secara harmonis. Pemaknaan terhadap suatu term agama yang bukan terlahir dari pengalaman sejarah bangsanya, seperti kata Allah, seseorang harus berlabuh dalam pengalaman sejarah bahasa bangsa asalnya (Arab) dan berlabuh dalam pengalaman batin bangsanya sendiri (Sunda). Karena, hasrat untuk mengabdi (beribadah) kepada Tuhan. Sebagai contoh, merupakan kodrat asali dari sifat (rasa) kemanusiaan, bukan karena agama. Agama lebih sebagai pemberi ruang bagi hasrat manusia untuk beribadah, mengabdi.
Hasan Mustapa secara tegas mengungkapkan, “Nyembah ku henteu jeung rasana tara disebut sembah, Nyembah perbawa rasa, rasa teu diwarah heula.” Tak ada agama tanpa pengalaman rasa kapangeranan yang datang sebagai fakta individual.
Memilahbedakan agama dan qadrat kemanusiaan yang terbentuk dalam budaya dan tradisi lokal yang telah menyiram dan memupuk rasa dan kesadaran Ilahiah (Kapangeranan) dengan agama (Islam) yang memberikan lokus bagi teraktualkannya hasrat tersebut, ibarat orang yang ingat akan akhir tetapi lupa akan awal.
Dengan demikian, secara garis besar maksud Hasan Mustapa dengan paradigma nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab sebagai upaya efistemologis mempertemukan pengalaman dan rasa bahasa antara Islam-Arab dengan Sunda, tanpa harus kehilangan identitas diri dan kulturalnya sebagai orang Sunda. Produk efistem nguyang tersebut melahirkan nalar dan cara beragama yang mampu menjadikan lokalitas budaya lokal sebagai modal dasar spiritual dalam beragama sehingga formalisme agama menemukan substansi spiritualnya.
Dengan paradigma ini, menjadi wajar bila dalam bahasa Sunda, seperti diungkap Muhammad Musa, banyak ditemukan kosa kata bahasa Arab. Akan tetapi, sebenarnya bahasa Arab tersebut secara substansial telah mendapatkan nuansa kesundaan. Demikian juga sebaliknya sejumlah kosa kata Sunda, khususnya yang berkenaan dengan term-term keagamaan, telah berlabuh dalam makna keislamannya, bukan Arab.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar