Jumat, 15 Maret 2013
Proses Islamisasi Dengan Budaya Lokal (Sunda)
Proses Islamisasi Dengan Budaya Lokal (Sunda)
ISLAMISASI sebagai gerakan pembebasan manusia dilakukan secara pelan tapi pasti. Proses islamisasi ini dilatarbelakangi oleh perubahan yang terjadi di saat serangan ideologis dan politis menajam khasanah Islam di Indonesia. Sebagai konsekuensi logis, sekelompok masyarakat yang sadar akan keunggulan nilai-nilai kemanusiaan, mundur dalam kancah politik yang bersifat ideologis. Dengan bantuan ulama, kelompok ini kemudian menyingkir ke daerah-daerah di mana dominasi Westernisasi agak lemah. Ulama tersebut kemudian melakukan pencerahan di desa-desa melalui proses islamisasi. Proses ini berjalan tanpa bantuan organisasi dakwah yang cukup memadai untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas, tapi semata-mata karena mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i, pedagang dan guru sufi.
Islamisasi terus berkembang sejalan turunnya pamor kerajaan Hindu Jawa Singosari yang kala itu dipimpin oleh Kertanegara, datangnya ekspansi Kubali Khan pada abad ketiga belas turut pula mempercepat keruntuhan Sriwijaya.
Diawali dengan islamisasi daerah pantai di Pulau Jawa, islamisasi yang dilakukan pedagang, da’i dan guru sufi terus mendapat tempat di hati masyarakat sejalan dengan terjalinnya asimilasi melalui perkawinan dengan putri-putri setempat bahkan dengan masuknya penguasa raja Mataram terhadap Islam, proses islamisasi menjadi sangat dominan.
Gerakan islamisasi di Indonesia di samping dipengaruhi oleh kekuatan dan keihkhlasan da’i dan pedagang serta guru sufi, tidak bisa dilupakan oleh konsepsi Islam itu sendiri yakni:
1. Ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem Ketuhanannya yang memberi tekanan kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan kekuatan apa pun selain Allah SWT.
2. Daya lentur Islam (fleksibilitas) ajaran Islam sebagai wujud modifikasi nilai-nilai universal, dengan demikian ajaran Islam dapat melebur dengan berbagai bentuk dan jenis situasi di masyarakat.
3. Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan Barat yang diwakili oleh kekuasaan Portugis dan Belanda yang mengobarkan penjajahan dan menyebarkan Kristen.
Dengan ketiga ciri tersebut kemudian Islamisasi terus berkembang apalagi setelah dibantu oleh guru sufi (Wali Songo) dengan gaya lentur ajaran Islam untuk meneguhkan tradisi-tradisi setempat terutama dalam masalah mistisisme lama yang mempunyai persamaan dengan mistisisme Islam. Watak inilah kemudian yang menjadi faktor dominan bagi penyebaran Islam di daerah Jawa seperti Mataram, Demak, Gresik, Cirebon dan lain sebagainya.
Kelenturan ajaran Islam sebagai jaminan sosial gerakan kultural diteruskan oleh para da’i dengan mendirikan madrasah, langgar/masjid dan pesantren. Untuk bahan ilustrasi rasanya perlu kita hidmati apa yang dirasakan oleh Ahmad Djayadiningrat.
Pengajaran Al-Qur’an itu diberikan secara individual kepada para murid, biasanya mereka berkumpul di langgar atau di serambi rumah guru, mereka membaca dan melakukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu per satu di bawah bimbingan guru selama 1/4 atau 1/2 jam.
Sebagai seorang anak bupati zaman Sunda, Ahmad Djayadiningrat mengaji Al-Qur’an di langgar tidak di pendopo, bahkan beliau karena kelambanan belajar Juz Amma sampai tiga bulan dan dilakukan setiap hari.
Islamisasi yang dilakukan model ini, kurang banyak mendapat perhatian peneliti, padahal islamisasi lewat model ini terjalin sinergitas yang erat antara perilaku komersial (berdagang) dengan masjid dan pesantren. Jika Islam masuk daerah Sunda dibawa oleh para Wali Sembilan maka terdapat relasi yang jelas antara kegiatan komersial (pedagang)-masjid (spiritual)-pesantren (pendidikan).
Relasi ketiga hal tersebut terus berjalan dengan santai (istilah Kang Acep) dan tidak pernah menimbulkan konflik sehingga tepat apa yang disampaikan Anis Jatisunda bahwa “tidak ada garis pemisah atau penghambat antara kesakralan spiritual agama Islam dengan eksistensi berbagai budaya daerah (Sunda) sebagai kecirian dirinya.”
Resistensi antara Islam sebagai tuntunan dan Sunda sebagai budaya, terjadi manakala Islam diinterprestasikan politis, bahkan resistensi semakin memuncak tatkala Islam dijadikan jargon politik bagi kepentingan politik lokal maupun nasional.
Konflik yang terjadi pada Syarikat Islam (SI) dan NU, paska reorganisasi Masyumi dan terbentuknya partai-partai politik semakin menjauhkan antara Islam dan budaya lokal. Dalam setiap resistensi dan konflik yang jadi korban terakhir adalah rakyat kecil dan ini terukir dengan jelas pada kelompok Mikung.
Saatos babaledogan eta, abdi ngiring ka sepuh abdi pun biang di caket lindung, bumi pan teu tiasa dieusian da atos ruksak kitu, nya caroge tos teu aya dicandak ti payun, jaba murangkalih masih orok, wargi-wargi teu aya nu ngabantosan da sarieuneun kacacandak, abdi didamel we sabisa-bisa, da sieunna moal aya atuh, abdi mah ayeuna oge upami aya nu rame-rame teh sok ngadaregdeg. Ninggal jalmi kempel-kempel oge emut wae kajantenan eta.
Kenyataan pahit tersebut terjadi di daerah di mana sinkretisme sebagai keyakina orang Sunda (buhun) dilingkari oleh resistensi Islam Politik yang cenderung ideologis, sehingga pertentangan antra dua ideologi partai Islam dan partai nasionalis sekular berimplikasi pada marjinalisasi masyarakat.
Resistensi semakin menguat bahkan jadi diperkuat setelah zaman Orba dengan kekuatannya. Orde Baru mampu menarik kelompok marjinal ini sehingga kemudian bisa bersinergi dengan okmum Kepala Desa untuk memenangkan salahsatu partainya. Dengan munculnya kekuatan emosional, maka resistensi antara prilaku orang Islam dengan kelompok penganut paham singkretisme semakin menajam.
Resistensi Islam politik dan ideologi dimanfaatkan kepentingan politik lokal untuk memenangkan partainya bahkan dengan bantuan dana yang cukup sehingga memperkuat resistensi tersebut.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar