Jumat, 15 Maret 2013

Celempung dan Celempungan

Celempung dan Celempungan Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempungnya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi. Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter. Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada. Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai. Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.

Kampung Pulo

Kampung Pulo Merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya menganut agama Hindu, lalu Embah Dalem Arif Muhammad singgah di daerah ini karena terpaksa mundur pada saat mengalami kekalahan sewaktu menyerang Belanda. Karena malu kepada Sultan Agung maka Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram. Pada saat itu beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat Kampung Pulo. Sampai dengan beliau wafat dan dimakamkandi Kampung Pulo, beliau meinggalkan 6 orang anak dan salah satunya adalah pria. Oleh karena itu di Kampung Pulo didirikan 6 buah rumah adat yang berjajar saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah di kiri dan di kanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, serta yang tinggal di dalam rumah tersebut tidak boleh melebihi dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak laki-laki sudah dewasa dan menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus segera meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % dari warga Kampung Pulo beragama Islam, mereka tetap melaksanakan sebagian dari upacara ritual agama Hindu. Dalam adat istiadat Kampung Pulo terdapat beberapa ketentuan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu : • Dalam berziarah ke makam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu berupa baraan api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan cerutu. Hal ini dipercaya untuk mendekatkan diri kepada roh para leluhur. • Dilarang berziarah pada hari Rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkenankan bekerja berat, begitu juga Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut dipergunakan untuk mengajarkan agama. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila melanggar aturan tersebut, maka akan timbul malapetaka bagi masyarakat kampung ini. • Bentuk atap rumah selamanya harus memanjang (Jolopong) • Tidak boleh memukul gong besar • Khusus di Kampung Pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain. Setiap tanggal 14 bulan Maulud mereka melaksanakan upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakan dan memberi berkah. Lokasi: Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Koordinat : 7° 6' 11" S, 107° 55' 7" E Telepon: Email: Internet: kabgarut@westjava-indonesia.com Arah: Kampung Pulo terletak kurang lebih 50 Km ke arah timur kota Bandung dan 13 Km ke arah barat kota Garut. Jadi, letak kampung ini berada di antara kota Bandung dengan kota Garut. Apabila mempergunakan kendaraan umum dapat ditempuh dengan naik bus dari terminal Cicaheum jurusan Garut sampai ke alun-alun Kecamatan Leles. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan angkutan pedesaan, ojeg sepeda motor, atau delman ke arah Kampung Ciakar Desa Cangkuang yang berjarak sekitar 3 Km. Setelah tiba di Kampung Ciakar (tepi danau), untuk menuju Kampung Pulo dilakukan dengan naik rakit melalui situ atau Danau Cangkuang. Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Garut

Kampung Kuta

Kampung Kuta Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan karena sesuai dengan lokasi Kampung Kuta yang berada di Iembah yang curam sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan, dalam bahasa Sunda disebut Kuta (artinya pager tembok). Mengenai asal-muasal Kampung Kuta, dalam beberapa dongeng buhun yang tersebar di kalangan masyarakat Sunda sering disebut adanya nagara burung atau daerah yang tidak jadi/batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh. Daerah ini dinamai Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan sekitarnya menganggap Kuta Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaninggal sekarang. Masyarakat Cisaga menyebutnya dengan nama Kuta Jero. Dongeng tersebut ternyata mempunyai kesamaan dengan cerita asal-usul Kampung Kuta. Mereka menganggap dan mengakui dirinya sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung Kuta sebagai penunggu atau penjaga kekayaan Raja Galuh. Pelapisan sosial yang didasarkan atas status dan peranan, telah menyebabkan dalam masyarakat terdapat golongan yang memimpin yang golongan yang dipimpin. Golongan yang memimpin/pemimpin formal menduduki jabatan tertentu dalam lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, ketua RW, dan ketua RT. Sedangkan pimpinan nonformal adalah pimpinan berdasarkan penghormatan dan penghargaan masyarakat terhadap seseorang karena alasan usia, pengalaman, pengetahuan, dan peran di lingkungannya. Pimpinan nonformal biasa dikenal dengan sebutan sesepuh dan kuncen. Masyarakat Kampung Kuta sebagai sebuah komunitas yang walaupun terikat dalam aturan-aturan adat, akan tetapi mereka mengenal dan menggemari berbagai kesenian yang digunakan sebagai sarana hiburan, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian dangdut. Kesenian tersebut biasanya dipertunjukkan pada saat mengadakan selamatan/hajatan terutama hajatan perkawinan dan penerimaan tamu kampung. Pertunjukannya cukup diminati oleh segenap masyarakat dan mereka menyaksikan dengan cukup antusias. Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum sampai ke Kecamatan Rancah. Sedang dari Kecamatan Rancah menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok-kelok, serta banyak tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum mobil sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan serupa. Telepon: 0265-771421 Email: Internet: Arah: 34 km arah utara Ciamis Fasilitas Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Ciamis Jl. Mr. Iwa Kusumasumantri no. 14 Ciamis 46213

Kampung Adat Mahmud

Kampung Adat Mahmud Kampung Mahmud mempunyai jumlah penduduk sekitar 200 kepala keluarga yang menempati daerah seluas 4 hektar, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Pendiri Kampung Mahmud adalah Embah Eyang Abdul Manaf keturunan dari Syarif Hidayatuliah seorang wali yang berasal dari Cirebon. Beliau meninggalkan kampung halamannya menuju ke tanah suci Mekah untuk beberapa saat. Sampai pada suatu saat dia memutuskan untuk kembali ke tanah airnya. Sebelum kembali dia merasakan satu firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing (Belanda). Oleh karena itu, sebelum pulang dia berdoa secara khusus di satu tempat yang dinamakan Gubah Mahmud yang berdekatan dengan Masjidil Haram. Sesuai dengan petunjuk yang didapatkannya di Gubah Mahmud, dia segera mencari rawa. Pencarian berakhir setelah ditemukan lahan rawa yang terdapat di pinggiran Sungai Citarum. Karena akan dijadikan lahan perkampungan, rawa tersebut kemudian ditimbun. Satu persatu rumah bermunculan sehingga membentuk sebuah kampung. Kampung tersebut selanjutnya diberi nama Mahmud, nama yang sama dengan tempat Eyang Manaf berdoa ketika berada di Mekah, yakni Gubah Mahmud. Masyarakat Kampung Mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap para leluhur, mereka memelihara makamnya dengan baik, bahkan menempatkannya sebagai makam keramat yang senantiasa diziarahi oleh mereka. Selain itu tidak adanya kesan yang menonjol atau menarik perhatian dari perkampungan Mahmud dan suasana perkampungan yang hening, pada zaman Belanda Kondisi ini dimanfaatkan untuk tempat persembunyian yang aman oleh penduduk daerah sekitar dari para penjajah yang datang ke tanah air. Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 generasi penerus hingga sekarang ini, yaitu di antaranya: Eyang Sutrajaya, Eyang Inu, Eyang Mahmud lyan, Eyang Aslim,Eyang Kiai H.Zaenal Abidin, Kiai H.Muhamad Madar dan H. Amin, Secara administratif Kampung Mahmud termasuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Posisi tepatnya, Kampung Mahmud berada di RW 04, dengan hanya dua RT di dalamnya, yakni RT 01 dan RT 02. Tempat ini cukup mudah dijangkau dari Kota Bandung, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Ada beberapa alternatif rute yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud, khususnya, dengan kendaraan umum. Pertama, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Di bawah pukul 09.00 WIB, angkutan tersebut biasanya hanya sampai Bumi Asri I. Untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Mahmud, tersedia delman atau ojeg. Alternatif kedua, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa - Cibaduyut, lalu turun di terminal Leuwi Panjang. Dari terminal itu naik angkutan kota dengan jurusan Cipatik, lalu berhenti di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju Kampung Mahmud. Perjalanan melalui kedua rute tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 90 menit. Alamat: Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung Koordinat : 6°58'18"S, 107°32'24"E Telepon: Email: Internet: Arah: dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut:

Kampung Naga

Kampung Naga Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan koordinat Latitude -7.363722 dan Longitude 107.994425 , seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Lokasi: Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Koordinat : -7.363722 S, 107.994425 E Telepon: (0265) 330165 Email: - Internet: kabtasikmalaya@westjava-indonesia.com Arah: Kurang lebih 30 kilometer dari Kota Tasikmalaya, 26 kilometer dari Kota Garut Fasilitas: - Jam Buka: - Tutup: - Tiket: - Informasi Lebih Lanjut: Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya, Jl. Otto Iskandardinata No.2, Tasikmalaya

Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat kebiasaan nenek moyang'. Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan "hijrah wangsit" ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. Masyarakat atau warga Kampung Ciptagelar sebenarnya tidak terbatas di kampung tesebut saja tetapi bermukim secara tersebar di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Namun demikian sebagai tempat rujukannya, "pusat pemerintahannya" adalah Kampung Gede, yang dihuni oleh Sesepuh Girang (pemimpin adat), Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang) dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang ingin tinggal sekampung dengan pemimpin adatnya. Kampung Gede adalah sebuah kampung adat karena eksistensinya masih dilingkupi oleh tradisi atau aturan adat warisan leluhur. Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki. Lokasi: Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Koordinat : 06° 47` 10,4`` S, 106° 29` 52’’ E Telepon: (0266) 227353 Email: - Internet: - Arah: 14 km dari Desa Sirnaresmi 14 Km, 27 km dari kota kecamatan, 103 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, dan 203 dari Bandung 203 km ke arah barat Fasilitas: - Jam Buka: - Tutup: - Tiket: - Informasi Lebih Lanjut: Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat

Kampung Urug

Kampung Urug Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Pajajaran Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran. Salah seorang keturunan Prabu Siliwangi yang dianggap leluhur kampung Urug bernama Embah Dalem Batutulis atau Embah Buyut Rosa dari Bogor. Mereka tidak berani menyebut Embah Buyut Rosa, katanya "teu wasa bisi kasiku" (tidak berani takut kena bencana). Asal-usul Kampung Urug berdasarkan latarbelakang sejarahnya memiliki beberapa versi. Perbedaan tersebut bukan terletak pada siapa dan darimana Ieluhur mereka itu, akan tetapi terletak pada masalah tujuan atau motivasi yang menjadi penyebab berdirinya Kampung Urug. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah "digugu dan "ditiru", artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya. Jarak tempuh Kampung Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat lebih kurang 165 kilometer ke arah barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor lebih kurang 48 kilometer, dari kota kecamatan Sukajaya lebih kurang 6 kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak lebih kurang 1,2 kilometer. Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Jalan dari kantor desa ke kampung Urug, beraspal dan kondisinya cukup baik. Ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Adapun menggunakan angkutan umum dari pertigaan Jasinga-¬Leuwiliang menuju ke Cipatat. Dipertigaan jalan raya Cipatat dan jalan desa bisa menggunakan ojeg sampai ke kampung Urug, atau bisa juga menggunakan mobil Carry dari Jasinga - Leuwiliang sampai ke kampung Urug. Lokasi: Koordinat : 6° 34' 42" S, 106° 29' 28" E Telepon: Email: Internet: Arah: 165 km ke arah barat Kota Bandung; 48 km ke arah timur Kota Bogor Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Kantor Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bogor Jl. Segar III Kav. V Komplek Perkantoran Pemda Cibinong Bogor Objek Wisata Lainnya Kampung Ciptagelar Kampung Adat Mahmud Kampung Pulo Kampung Naga Kampung Kuta

10 Tempat Wisata Jawa Barat

10 Tempat Wisata Jawa Barat 1. Pantai Pangandaran Hamparan pasir halus dan air laut yang bersih menjadikan Pantai Pangandaran pantai yang legendaris. Berlatarbelakang Cagar Alam Pananjung yang kaya akan flora dan fauna, pantai ini memberikan kesempatan unik untuk dapat melihat terbit dan terbenamnya matahari dari satu tempat yang sama. Sumber foto: www.mypangandaran.com 2. Gunung Tangkuban Perahu Berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu, kita dapat melihat keindahan sepuluh kawah yang letaknya berdekatan. Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas, merupakan tiga kawah Gunung Tangkuban Perahu yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Untuk menuju kawah-kawah itu, kita dapat berjalan kaki melewati jalan setapak dengan jarak tempuh antarkawah yang tidak begitu jauh. Kita juga dapat menyewa kuda tunggangan khusus untuk menuju lokasi Kawah Ratu. 3. Arung Jeram Sungai Citarik Paculah adrenalinmu dengan berarung jeram di Sungai Citarik, salah satu sungai di Kabupaten Sukabumi yang dijadikan lokasi untuk kegiatan rafting. Dengan air sungai yang cukup deras, kita akan dilayani oleh sekitar lima operator arung jeram dengan pemandu yang bersertifikat dan berstandar nasional bahkan internasional. Hal ini penting karena bagi wisatawan yang berminat mengikuti kegiatan arung jeram, faktor keselamatan merupakan perhatian yang utama di samping pelayanan. Sumber foto: www.potlot-adventure.com 4. Kawah Putih Di ketinggian Gunung Patuha, tersembunyi keindahan bekas kawah tua yang unik. Bau belerang akan langsung menyambut kita begitu tiba di tebing kawah, menjadikannya sajian yang tak terpisahan ketika mengagumi kawah berwarna hijau muda yang dikelilingi pasir putih serta riak air dalam kawah yang bertabur asap tipis. Sesekali, letupan lumpur hidup, menjadi sebuah atraksi alam yang tiada duanya. Sebagai tambahan, warna air Kawah Putih selalu berubah-ubah bila terkena sinar matahari. 5. Green Canyon (Cukang Taneuh) Cukang Taneuh atau Green Canyon adalah salah satu primadona wisata di pesisir Selatan Jawa Barat. Di tempat ini, kita dapat menikmati aliran sungai Cijulang yang menembus gua dengan stalaktit dan stalaknit yang masih meneteskan air. Air terus menerus dikeluarkan di tebing sehingga daerah ini disebut sebagai daerah hujan abadi. Pemandangan semakin cantik ketika menyaksikan Air Terjun Palatar yang terdapat dalam Gua Green Canyon. Kita dapat berenang di air yang dingin sambil menikmati tebing-tebing tinggi. Untuk mencapai lokasi ini, kita dapat menggunakan perahu yang banyak tersedia di Dermaga Ciseureuh, baik perahu tempel maupun perahu kayuh. Sumber foto: Dissy 6. Pantai Pelabuhan Ratu Terletak kurang lebih 60 km arah selatan Kota Sukabumi, pantai yang bernama asli Palabuhan Ratu ini merupakan salah satu objek wisata kebanggaan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Pantai yang sangat terkenal ini merupakan pantai teluk yang secara keseluruhan memiliki karakter yang unik, yaitu perpaduan antara pantai curam dan landai. Karang-karang terjal dalam hempasan gelombang dahsyat di satu sisi, dan hutan-hutan cagar alam di sisi lainnya, merupakan karakter yang melekat pada pantai ini. Keunikan itu menjadi kian menarik manakala keganasan ombak Laut Selatan itu dihubungkan dengan legenda Nyi Roro Kidul. 7. Gua Lalay Di Sukabumi ada sebuah goa wisata dengan jutaan kelelawar yang hidup di dalamnya. Lokasi Goa Lalay yang dekat dengan pantai wisata Pelabuhan Ratu ini menyimpan berbagai keunikan tersendiri. Barisan ratusan ribu kelelawar yang meliuk-liuk, menyerupai “awan hidup” yang keluar dari Goa Lalai, merupakan atraksi yang sangat menarik di waktu sore hari untuk kita saksikan. 8. Taman Bunga Nusantara Taman Bunga Nusantara adalah obyek wisata agro yang merupakan aset nasional dengan skala internasional. Taman ini dipenuhi keindahan display warna dan bentuk bunga yang indah dari berbagai belahan dunia sesuai dengan iklim yang ada di Indonesia. Di taman ini disimpan sekitar 2000 jenis anggrek yang dirawat. Landscape taman ditata dengan mendesain 10 taman bunga yang dibangun secara khusus sehingga terlihat asri dan tradisional, yaitu Taman Air, Taman Rahasia (labyrinth), Taman Mawar, Taman gaya Prancis, Taman gaya Amerika, Taman Palem, Taman gaya Bali, Taman gaya Mediteranian, Taman Bugenvil, dan Taman gaya Jepang. 9. Curug Cikaso Salah satu wisata alam yang paling favorit nan megah di kabupaten Sukabumi adalah air terjun Curug Cikaso. Air terjun dengan ketinggian hampir 80 meter ini memiliki 3 air terjun dan lebar tebingnya hampir 100 meter. Untuk menuju ke lokasi air terjun Curug Cikaso, selain bisa ditempuh dengan berjalan kaki yang menyusuri pematang sawah, juga bisa dicapai dengan naik perahu motor dengan melewati bantaran sungai. 10. Pantai Ujung Genteng Terletak di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Pantai Ujung Genteng menyajikan banyak tempat menarik lainnya, seperti lokasi di mana kita bisa berselancar di atas ombak yang cukup menantang yang terkenal dengan sebutan ”ombak tujuh”.

“Nguyang”, Penafsiran Lokalitas Sunda Atas Islam

“Nguyang”, Penafsiran Lokalitas Sunda Atas Islam Oleh AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab, jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina Basa Arab (Hasan Mustapa, Qur’anul Adhimi). PERTEMUAN Sunda-Islam dalam perspektif kultural tidak bisa dipandang sebagai pertemuan yang sederhana karena Islam hadir sebagai agama, bukan sekadar representasi kekuatan politk atau budaya belaka. Agama senantiasa (diyakini) hadir dalam wujudnya yang lengkap, sufficiently. Kehadiran Islam sebagai tata nilai yang dianggap telah lengkap tersebut berhadapan dengan tata nilai dan kearifan lokal Sunda yang juga dianggap telah lengkap (sufficiently well) oleh masyarakat Sunda, telah teruji oleh sejarah bangsanya. Pertemuan dua tatanan nilai (Sunda dan Islam) tersebut dalam proses budaya tidak berakhir dengan kebekuan karena sebagai tata nilai yang adi luhung tentunya memiliki kearifan dan keterbukaan untuk melakukan “negosiasi”. Sikap keras kepala dan tertutup dari suatu tata nilai tertentu terhadap tata nilai yang lain hanya memperlihatkan keterbelakangan dan ketidaklengkapannya, insufficiently. Hasan Mustapa, sebagai representasi local-genius budayawan Sunda dan sekaligus sebagai representasi dari elite dan pemikir agama (kiai), telah mentransformasikan pertemuan Sunda-Islam ini ke dalam dirinya. Ia menjadikan dirinya sebagai lokus dan sekaligus sebagai subjek aktif bagi terjadinya dialog bagi kedua sistem nilai tersebut. Dalam proses transformasi tersebut, Hasan Mustapa menenggelamkan dirinya dalam lapisan-lapisan sejarah pembentuk kedua tata nilainya itu. Hal tersebut terungkap dalam pernyataan, “Kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab (Aku menyundakan Arab dengan datang ke Arab mengarabkan Sunda dari bahasa Arab).” Yang dilakukan Hasan Mustapa bukan Islamisasi Sunda, tetapi mempertemukan dua kearifan (Sunda dan Islam) untuk ditemukan titik temu dan dialami sebagai bagian integral dari dirinya, tanpa mengakibatkan kesan-kesan hegemonik satu atas yang lainnya. Hasan Mustapa menjadikan dirinya sebagai pelaminan dari perkawinan antara Guru Minda (representasi kearifan nilai-nilai langitan, Arab atau Islam yang fatrilineal) dan Purbasari (kearifan nilai-nilai lokal Sunda yang matrilineal) atau apa yang disebut teologi Asianya Aloysius Pieris sebagai nilai-nilai soteriologis metakosmik dan soteriologis kosmik. Perkawinan yang melahirkan nilai baru yang mereferensi dan bersumber pada nilai-nilai lama, baik Islam maupun Sunda. Sebuah perkawinan tentunya bukan suatu proses penaklukan satu atas yang lain, melainkan proses yang berawal dari, melalui proses dan berakhir dengan saling memahami dan saling menghargai. Dengan prosesi nguyang ka Arab dan ngarabkeun Sunda tina Basa Arab, Hasan Mustapa berusaha membangun kesetaraan pengalaman bahasa, antara bahasa Sunda dan bahasa Arab yang merupakan bahasa formal Agama Islam. Dengan nguyang ka Arab Hasan Mustapa melihat bahasa Arab, sebagai bahasa formal Islam, tidak sekadar sebagai kenyataan leksikal yang tercerabut dari konteksnya, melainkan kenyataan dari lipatan-lipatan pengalaman sejarah yang berhubungan dengan biografi Islam-Arab. Baru setelah itu, Hasan Mustapa melakukan proses ngarabkeun Sunda tina basa Arab. Bahasa Arab yang telah dialami Hasan Mustapa dengan proses nguyang ka Arab tersebut “dipertemukan” dengan pengalamannya sebagai seorang Sunda yang sejak lahir merupakan bagian integral dari diri dan kehidupannya. Dengan demikian, pertemuan yang terjadi dalam diri Hasan Mustapa bukan sekadar pertemuan formal kebahasaan (makna leksikal), tetapi bertemunya dua bahasa sebagai kenyataan pengalaman, pengalaman Arab-Islam, dan pengalaman Sunda dengan seluruh lipatannya sehingga melahirkan pengalaman Sunda-Islam, dalam pengalaman bahasa. Nguyang merupakan istilah teknis dalam paradigma efistem Hasan Mustapa, sebagai proses mengalami Islam dan Sunda melalui demitologisasi Islam sehingga Islam dan Sunda bertemu melalui dan dalam kesamaan pengalaman bahasa, bukan kesamaan leksikal. Dalam konteks ini, Hasan Mustapa tidak melihat bahasa sebagai sekadar instrumen komunikasi yang tunduk terhadap kaidah-kaidah bahasa dan kaidah rasio belaka, melainkan sebagai pengalaman terhadap realitas yang memiliki unsur intensionalitas. Karena proses demitologisasi tersebut, terjadi dalam pengalaman bukan dalam “pemikiran’ (intellectual investigation), proses demitologisasi tersebut tidak kemudian mengakibatkan instensionalitas Islam mengalami reduksi. Oleh karena itu, wajar bila Hasan Mustapa tidak pernah merasa gamang mentransformulasikan pemahaman keislamannya dengan menggunakan term dari bahasa Arab dengan rasa bahasa Sunda dan tidak jarang menggunakan cerita-cerita mitologis yang hidup dalam masyrakat Sunda yang merupakan formulasi nalar masyarakat Sunda. Sebagai contoh, dalam naskah Bale Bandung, Hasan Mustapa mendeskripsikan konsep pencapaian Kesempurnaan Manusia (Insan Kamil) yang disimbolkan oleh tokoh mitos Sunda Munding-Laya Di Kusumah yang telah mampu membinasakan tujuh Guriang yang merupakan ilustrasi terlewatinya tujuh tingkatan (maqamat) dan mendapatkan Lalayang Domas. Dengan menggunkan ilustrasi Munding-Laya Di Kusumah tersebut, Penggunaan epistem (nalar) kesundaan dalam menafsir pemikiran keislaman. Dalam hal ini konsep ketasawufan adalah dengan mempertemukan pengalaman batin Ki Sunda dengan pengalaman bathini ketasawufan, Islam. Dengan kata lain, pengalaman kebertemuan dengan realitas Illahi dalam diri manusia, merupakan kenyataan universal, bukan merupakan otonomi suatu tradisi keberagamaan saja. Pengalaman keberagamaan, yaitu pengalam “kebertemuan” dengan Yang Iilahi, merupakan milik semua manusia yang bisa diungkap atau diekspresikan oleh siapa pun dan dalam bahasa bangsa mana pun. Sunda, dengan berbagi aspek dan lapisan budaya serta tradisinya (termasuk bahasa), secara kodrati terlahir sebagai pengalaman bathini manusia Sunda dalam mengalami alam dan kehidupannya yang merupakan penampakan Nan-Ilami. Oleh karena itu, agama apa pun dan budaya serta tradisi apa pun, dalam paradigma dan nalar Hasan Mustapa, lebih dilihat sebagai wadah dari pengalaman bahasa (ekspresi) dari pengalaman kebertemuan dengan Nan-Illahi dalam dirinya. Sikap lupa terhadap asal sebagai manusia (Sunda) dalam sebuah proses pencarian identitas, akan membuat manusia terjebak dalam lingkaran tanpa ujung (kasarung). Demikian pula ketika pencarian identitas diri itu dipijakkan pada lokus keislaman, bila itu dilakukan dengan tidak merujuk pada pengalaman kebahasaan, melainkan hanya terjebak pada makna bahasa secara leksikon, keadaannya menjadi sama. Sebagai contoh, Hasan Mustapa mengilustrasikan prosesi pengalaman term “Allah” sebagai nama sekaligus simbol dari Tuhan yang dilakukan orang pada umumnya (non-Arab). Kata atau nama “Allah” adalah bagi Masyarakat Sunda merupakan istilah yang asing bila hanya terjebak dalam makan bahasa leksikon. Bila itu terjadi, orang akan dihadapkan pada kebingungannya dan ketidakmengertian yang tidak berujung pangkal. Hasan Mustapa mengingatkan tentang kecenderungan manusia yang cenderung terjebak dalam lingkaran tanpa ujung ini, “Tungtungna ngahurun balung, Guru bukur malar bukti, rek nyaba jeung Allah saha, kacapangan ya Illahi, he Allah Gusti kaula, di nu negrak di nu suni, baluas da kurang awas, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna, nuding kanu lain-lain, pahili nu dipieling, lahir dituding ati, batina ditorah rasa, moal salahir sabatin.” Dangding-dangding tersebut menggambarkan keterjebakkan orang pada maknawiah, apa yang tampak dalam bahasa (leksikon), lupa terhadap kenyataan ma’ani bahasa (intensionalitas makna), bahasa sebagai pengalaman batin, ati lali ka ma’ani, gumelar maknawiyahna karena (dalam dangding lain) matangankeun nu ngabukti. Demikian juga ketika pemaknaan bathin terhadap kata dan nama “Allah” yang tidak mereferensi penalaman bathin diri sendiri, sebagai anak dari pengalaman bangsanya. “Tah kitu yataroddadun, da bongan piroebihim, katambias parahuna, kerok miriwinci hiji. Yataraddadu.” Suatu keadaan seseorang yang melakukan perjalanan (perenungan) yang tidak berpijak secara benar (utuh) sehingga ia berputar-putar tidak menemu akhir karena tidak mermula dari awal yang tentu. “Kasarung turut lulurung, balik deui balik deui, sasab dina sisimpangan, ceurik deui ceurik deui, midangdam neangan Allah, ceurik deui ceurik deui.” Kesemuanya itu terjadi karena keterjebakan orang pada apa yang disebut Hasan Mustapa sebagai keterjebakan dalam makna leksikon dari kata Allah. “Bukurna nu dipibingung, pahili ku barang hiji, nyawa kaleungitan rasa, lawas kalindih panglandi.” Menurut Hasan Mustapa, jalan keluar keterjebakan ini yaitu dengan masing eling ka wiwitan, mangka awas ka wekasan (harus ingat pada asal, harus ingat pada akhir), dengan memastikan awal dan akhir dari suatu proses pencarian makna dan jati diri, top ti mana mimitina? Mana panganggeusanana? Bagi masyarakat Sunda-Islam yang masih menjadikan kesundaannya sebagai identitas dan bagian integral dirinya, Islam dipandang sebagai lokus yang memberikan ruang formal sebagai penyempurna dalam mewadahi pengalaman batin dan nilai-nilai kearifan lokal dan pengalaman batin masyarakat Sunda. Hasan Mustapa mengingatkan tentang relasi pengalaman diri dalam lokus lokalitas dengan agama sebagai kenyataan dalam kehidupan manusia harus dipertemukan secara harmonis. Pemaknaan terhadap suatu term agama yang bukan terlahir dari pengalaman sejarah bangsanya, seperti kata Allah, seseorang harus berlabuh dalam pengalaman sejarah bahasa bangsa asalnya (Arab) dan berlabuh dalam pengalaman batin bangsanya sendiri (Sunda). Karena, hasrat untuk mengabdi (beribadah) kepada Tuhan. Sebagai contoh, merupakan kodrat asali dari sifat (rasa) kemanusiaan, bukan karena agama. Agama lebih sebagai pemberi ruang bagi hasrat manusia untuk beribadah, mengabdi. Hasan Mustapa secara tegas mengungkapkan, “Nyembah ku henteu jeung rasana tara disebut sembah, Nyembah perbawa rasa, rasa teu diwarah heula.” Tak ada agama tanpa pengalaman rasa kapangeranan yang datang sebagai fakta individual. Memilahbedakan agama dan qadrat kemanusiaan yang terbentuk dalam budaya dan tradisi lokal yang telah menyiram dan memupuk rasa dan kesadaran Ilahiah (Kapangeranan) dengan agama (Islam) yang memberikan lokus bagi teraktualkannya hasrat tersebut, ibarat orang yang ingat akan akhir tetapi lupa akan awal. Dengan demikian, secara garis besar maksud Hasan Mustapa dengan paradigma nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab sebagai upaya efistemologis mempertemukan pengalaman dan rasa bahasa antara Islam-Arab dengan Sunda, tanpa harus kehilangan identitas diri dan kulturalnya sebagai orang Sunda. Produk efistem nguyang tersebut melahirkan nalar dan cara beragama yang mampu menjadikan lokalitas budaya lokal sebagai modal dasar spiritual dalam beragama sehingga formalisme agama menemukan substansi spiritualnya. Dengan paradigma ini, menjadi wajar bila dalam bahasa Sunda, seperti diungkap Muhammad Musa, banyak ditemukan kosa kata bahasa Arab. Akan tetapi, sebenarnya bahasa Arab tersebut secara substansial telah mendapatkan nuansa kesundaan. Demikian juga sebaliknya sejumlah kosa kata Sunda, khususnya yang berkenaan dengan term-term keagamaan, telah berlabuh dalam makna keislamannya, bukan Arab.***

Proses Islamisasi Dengan Budaya Lokal (Sunda)

Proses Islamisasi Dengan Budaya Lokal (Sunda) ISLAMISASI sebagai gerakan pembebasan manusia dilakukan secara pelan tapi pasti. Proses islamisasi ini dilatarbelakangi oleh perubahan yang terjadi di saat serangan ideologis dan politis menajam khasanah Islam di Indonesia. Sebagai konsekuensi logis, sekelompok masyarakat yang sadar akan keunggulan nilai-nilai kemanusiaan, mundur dalam kancah politik yang bersifat ideologis. Dengan bantuan ulama, kelompok ini kemudian menyingkir ke daerah-daerah di mana dominasi Westernisasi agak lemah. Ulama tersebut kemudian melakukan pencerahan di desa-desa melalui proses islamisasi. Proses ini berjalan tanpa bantuan organisasi dakwah yang cukup memadai untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas, tapi semata-mata karena mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i, pedagang dan guru sufi. Islamisasi terus berkembang sejalan turunnya pamor kerajaan Hindu Jawa Singosari yang kala itu dipimpin oleh Kertanegara, datangnya ekspansi Kubali Khan pada abad ketiga belas turut pula mempercepat keruntuhan Sriwijaya. Diawali dengan islamisasi daerah pantai di Pulau Jawa, islamisasi yang dilakukan pedagang, da’i dan guru sufi terus mendapat tempat di hati masyarakat sejalan dengan terjalinnya asimilasi melalui perkawinan dengan putri-putri setempat bahkan dengan masuknya penguasa raja Mataram terhadap Islam, proses islamisasi menjadi sangat dominan. Gerakan islamisasi di Indonesia di samping dipengaruhi oleh kekuatan dan keihkhlasan da’i dan pedagang serta guru sufi, tidak bisa dilupakan oleh konsepsi Islam itu sendiri yakni: 1. Ajaran Islam menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem Ketuhanannya yang memberi tekanan kuat bagi para pemeluknya untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan kekuatan apa pun selain Allah SWT. 2. Daya lentur Islam (fleksibilitas) ajaran Islam sebagai wujud modifikasi nilai-nilai universal, dengan demikian ajaran Islam dapat melebur dengan berbagai bentuk dan jenis situasi di masyarakat. 3. Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan Barat yang diwakili oleh kekuasaan Portugis dan Belanda yang mengobarkan penjajahan dan menyebarkan Kristen. Dengan ketiga ciri tersebut kemudian Islamisasi terus berkembang apalagi setelah dibantu oleh guru sufi (Wali Songo) dengan gaya lentur ajaran Islam untuk meneguhkan tradisi-tradisi setempat terutama dalam masalah mistisisme lama yang mempunyai persamaan dengan mistisisme Islam. Watak inilah kemudian yang menjadi faktor dominan bagi penyebaran Islam di daerah Jawa seperti Mataram, Demak, Gresik, Cirebon dan lain sebagainya. Kelenturan ajaran Islam sebagai jaminan sosial gerakan kultural diteruskan oleh para da’i dengan mendirikan madrasah, langgar/masjid dan pesantren. Untuk bahan ilustrasi rasanya perlu kita hidmati apa yang dirasakan oleh Ahmad Djayadiningrat. Pengajaran Al-Qur’an itu diberikan secara individual kepada para murid, biasanya mereka berkumpul di langgar atau di serambi rumah guru, mereka membaca dan melakukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu per satu di bawah bimbingan guru selama 1/4 atau 1/2 jam. Sebagai seorang anak bupati zaman Sunda, Ahmad Djayadiningrat mengaji Al-Qur’an di langgar tidak di pendopo, bahkan beliau karena kelambanan belajar Juz Amma sampai tiga bulan dan dilakukan setiap hari. Islamisasi yang dilakukan model ini, kurang banyak mendapat perhatian peneliti, padahal islamisasi lewat model ini terjalin sinergitas yang erat antara perilaku komersial (berdagang) dengan masjid dan pesantren. Jika Islam masuk daerah Sunda dibawa oleh para Wali Sembilan maka terdapat relasi yang jelas antara kegiatan komersial (pedagang)-masjid (spiritual)-pesantren (pendidikan). Relasi ketiga hal tersebut terus berjalan dengan santai (istilah Kang Acep) dan tidak pernah menimbulkan konflik sehingga tepat apa yang disampaikan Anis Jatisunda bahwa “tidak ada garis pemisah atau penghambat antara kesakralan spiritual agama Islam dengan eksistensi berbagai budaya daerah (Sunda) sebagai kecirian dirinya.” Resistensi antara Islam sebagai tuntunan dan Sunda sebagai budaya, terjadi manakala Islam diinterprestasikan politis, bahkan resistensi semakin memuncak tatkala Islam dijadikan jargon politik bagi kepentingan politik lokal maupun nasional. Konflik yang terjadi pada Syarikat Islam (SI) dan NU, paska reorganisasi Masyumi dan terbentuknya partai-partai politik semakin menjauhkan antara Islam dan budaya lokal. Dalam setiap resistensi dan konflik yang jadi korban terakhir adalah rakyat kecil dan ini terukir dengan jelas pada kelompok Mikung. Saatos babaledogan eta, abdi ngiring ka sepuh abdi pun biang di caket lindung, bumi pan teu tiasa dieusian da atos ruksak kitu, nya caroge tos teu aya dicandak ti payun, jaba murangkalih masih orok, wargi-wargi teu aya nu ngabantosan da sarieuneun kacacandak, abdi didamel we sabisa-bisa, da sieunna moal aya atuh, abdi mah ayeuna oge upami aya nu rame-rame teh sok ngadaregdeg. Ninggal jalmi kempel-kempel oge emut wae kajantenan eta. Kenyataan pahit tersebut terjadi di daerah di mana sinkretisme sebagai keyakina orang Sunda (buhun) dilingkari oleh resistensi Islam Politik yang cenderung ideologis, sehingga pertentangan antra dua ideologi partai Islam dan partai nasionalis sekular berimplikasi pada marjinalisasi masyarakat. Resistensi semakin menguat bahkan jadi diperkuat setelah zaman Orba dengan kekuatannya. Orde Baru mampu menarik kelompok marjinal ini sehingga kemudian bisa bersinergi dengan okmum Kepala Desa untuk memenangkan salahsatu partainya. Dengan munculnya kekuatan emosional, maka resistensi antara prilaku orang Islam dengan kelompok penganut paham singkretisme semakin menajam. Resistensi Islam politik dan ideologi dimanfaatkan kepentingan politik lokal untuk memenangkan partainya bahkan dengan bantuan dana yang cukup sehingga memperkuat resistensi tersebut.***

Islami versus Islamisne dan Arabisme

Islami versus Islamisne dan Arabisme ISLAM sebagai dien sering diidentikkan dengan agama (religion). Secara filosofis pandangan tersebut sering bias yang berkonotasi Islamisme Arabisme Islam sebagai Tuntutan Hidup yang bersumberkan wahyu Tuhan yang bersifat absolut (The Revelation Theory). Kebenaran tersebut diterima manusia melalui perantara Nabi (manusia) pilihan. Sebagai tuntutan hidup manusia, wahyu disampaikan Nabi dan Rosul di samping berdimensi meta empiris juga empiris yang sering menggunakan idiom lokal. Idiom-idiom tersebut kemudian direkam oleh para sahabat. Ketika para sahabat menyampaikan hal tersebut kepada umat, maka dimensi meta empiris tersebut menjadi empiris dan rasional, karena sudah termasuk pada pemikiran wahyu. Pemikiran tentang wahyu kemudian menjadi tidak absolut lagi. Karena tidak absolut, maka pemikiran sahabat tersebut tidak tunggal. Ketidak tunggalan pemikiran ini kemudian menjadi khasanah akal sehingga menjadi rahmat jika tidak dihinggapi napsu. Islam sebagai agama di dalamnya ada yang bersifat empiris dan meta empiris, rasional intuitif bahkan objektif partisifatif. Ketiga dimensi tersebut berkembang dalam wacana yang ideal sehingga kemudian pemikiran tentang wahyu menjadi beranekaragam. Keanekaragaman inilah kemudian berjalan terus sehingga laksana ayunan bandul jam sehingga kemudian Islam tidak hanya berdimensi agama (religion) tapi civilization (peradaban). Peradaban (civilization) dalam pengertian Raucek dan Warren merupakan tingkatan perkembangan kompleksitas kebudayaan yang dicapai suatu masyarakat. Kompleksitas tersebut kemudian melembaga dalam komunikasi lisan dan tulisan yang memungkinkan berakumulasi ke tingkat yang lebih besar dan meluas. Kompleksitas Islam berkembang terus, sehingga ketika ayunan bandul tersebut sampai ke daratan di luar Arab dan bersinergi dengan budaya lokal terjadilah islamisasi yang berbeda dengan Arabisme dan Islamisme. Arabisme dan Islamisme muncul ke permukaan setelah Islam bersinerggi dengan budaya lokal di luar jazirah Arab termasuk Eropa (Barat). Arabisme muncul melalui kebencian orang kristen di Cordoba ketika mereka melihat orang Cordoba yang Kristen menggunakan simbol-simbol Arab karena keterkaitannya terhadap sastra Arab, mengadopsi perilaku Arab tanpa mereka masuk Islam. Islamisme merupakan perwujudan pembaharuan pemikiran politik Islam dalam usaha mempersatukan umat Islam di seluruh dunia Islam. Paham ini kemudian mendapatkan kerangka ideologis dan teologis dari Muh. Abduh sebagai murid Al-Afghani. Islamisme sebagai kerangka politik untuk kasus Indonesia muncul setelah datangnya Belanda ke Indonesia. Kedatangan Belanda ke Indonesia ternyata tidak semata-mata ekonomis, tapi cenderung politis dan ideologis dan ini dibuktikan dengan adanya misionaris dan zending, bahkan dengan datangnya Snevlitt dan ISDVnya. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ketika Kristen datang dan bersinergi dengan budaya lokal tidak muncul jargon Eropanisme dan Kristenisme? Islamisme sebagai pengejawantahan dari warisan modernisme klasik, mendapat angin yang subur tatkala perang kemerdekaan, di mana pada saat itu konflik ideologi berkembang setelah munculnya Marxisme dan Sosialisme di Indonesia. Syarikat Islam (SI) saat itu terpecah menjadi SI Merah dan SI Putih. SI Putih kemudian menjadi Partai Syarikat Islam (PSI) dan SI Merah menjadi Syarikat Rakyat. Dengan fahamnya itu kemudian komunis berhasil melakukan pemberontakan di Banten pada tahun 1926 dan Minangkabau pada tahun 1927. Konflik ideologi semakin merebak tatkala muncul reorganisasi MIAI menjadi Masyumi. Kegagalan Islam ideologi dan politik terekam dengan jelas paska proklamasi. Kekecewaan kelompok ideologi dalam masyarakat disemai tatkala Indonesia sebagai negara baru harus berhadapan dengan Belanda sehingga kekalahan di bidang diplomatik pemimpin nasional dimanfaatkan oleh kelompok ideologi untuk menyatakan ketidaksetiaan ke NKRI. Memasuki Orde Baru kekalahan Islam Politik terus menukik sehingga kemudian generasi muda mencoba menginterpretasikan sejarahnya dengan ide pembaharuan yang tersohor dengan jargon “Islam Yes Partai Islam No.”

Relasi antara Budaya Islam dan Budaya Sunda

Relasi antara Budaya Islam dan Budaya Sunda Oleh ENUNG SUDRAJAT Meuncit meri dina rakit Boboko wadah bakatul Lain nyeri ku panyakit Kabogoh direbut batur SEBAGAI bagian dari kreativitas orang Sunda, paparikan di atas termasuk jeprut, kalau dilihat secara bahasa. Tapi dalam pandangan axiologis paparikan tersebut terasa fenomena ekologis terlihat pada hubungan kata meri, rakit dan boboko, makna ekologis yang berdimensi antropologis bisa ditelurusi jika meri dinisbahkan kepada hewan Ovivar yang hidup di daerah basah (Lendo). Rakit dan boboko mempunyai bahan yang sama yaitu bambu (biasanya hidup pada ketinggian 100-500 dpl, daerah ini biasanya berada di antara gunung (bukit) dan penampung air (susukan). Bakatul sebagai bagian dari penggilingan padi setelah dipilih (diayak) dinisbahkan bahwa dalam proses tersebut terdapat proses yang sinergis antara unsur tektur tanah, air, perilaku manusianya. Kebudayaan jika ditafsirkan sebagai hasil kreativitas manusia (perilaku manusia) ketika berinteraksi dengan lingkungan, menghasilkan simbol-simbol, mempunyai wujud (material) juga nilai. Sebagai suatu simbol dari kreativitas manusia, rakit, meri dan boboko selalu berhubungan dengan air dan tanah basah dan bukit. Jika suku Sunda/Priangan menurut Yakob Sumarjo terbagi antara Sunda Gunung dan Sunda Air, maka paparikan di atas kemungkinan dibuat di daerah Sunda Air (Priangan). Dengan demikian maka hasil kreativitas tersebut berwujud useup, ayakan, dan boboko sebagai alat untuk memudahkan kerja dalam kehidupan. Secara antropologis fenomena paparikan di atas mempunyai makna bahwa orang Sunda Air, menurut Yakob Sumarjo, mempunyai semangat egaliter. Semangat egaliter pada masyarakat Sunda Air dibuktikan dengan jenis pekerjaan seperti bertani, berdagang bahkan pada kasus mikung sering terjadi proses imitasi dan adopsi yang dilakukan warga masyarakat dalam konteks perkembangan ekonomi sehingga kemudian kadang-kadang terjadi diferensiasi sangat cepat. Diferensiasi pada masyarakat Sunda walaupun berjalan cepat, tidak sampai mengganggu sistem kekerabatan (patron klien). Model sistem ini masih terjadi pada masyarakat desa seperti pada sistem pengolahan tanah yang sering disebut maro/nengah. Model ini sebagai upaya pembagian kesejahteraan kepada kerabat yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, di mana pembagian hasil padi dibagikan pada saat panen tiba dan tidak berbentuk imbalan uang.

Hanya Satu Kerajaan

Hanya Satu Kerajaan DI NUSANTARA, fungsi candi bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, tetapi juga berfungsi sebagai monumen sebuah dinasti yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuasaan antar kerajaan telah menghasilkan candi-candi megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudurnya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanannya. Pergantian kekuasaan kerajaan, baik melalui suksesi formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diiringi dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya. Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya candi-candi besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, maka kita dapat menduga selain sebagai simbol majunya sebuah kerajaan, betapa banyaknya pula konflik dan persaingan politik yang terjadi di Jawa pada zaman itu. Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan sebuah kerajaan seperti ini tidak terjadi di tatar Sunda karena kerajaan yang berkuasa di tatar Sunda hanya satu yaitu Kerajaan Sunda, cuma pusat pemerintahannya saja yang berpindah-pindah sejak dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), pindah lagi ke Kawali (Ciamis) dan kemudian pindah ke Pakuan lagi (Sartono Kartodirdjo, 1977). Dengan kata lain, kekuasaan raja di Sunda itu tersentralisir dan kemungkinan keratonnya pun hanya satu. Tetapi -paling tidak hingga saat ini- keratonnya pun belum ditemukan berada di kota mana dari tempat yang berpindah-pindah itu. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti candi Cangkuang di Garut, selain proses rekonstruksinya masih kontroversial, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan kerajaan Sunda. Kekuasaan yang tunggal yaitu kerajaan Sunda adalah alasan kuat yang mendukung alasan-alasan lain yang sudah dikemukakan tentang tidak banyaknya candi di tatar Priangan. Dengan demikian, kelangkaan candi di sebuah kawasan tidak selalu mengkespresikan tingkat peradaban. Candi hanyalah salah satu bangunan monumental yang dibangun oleh sebuah dinasti kerajaan untuk kebutuhan prestise sesembahan keluarga raja, selain sebagai simbol kekuasaan. Kerajaan Sunda adalah kerajaan kuat yang terbukti ketika kerajaan Madjapahit berada dipuncak kekuasaannya, kerajaan Sunda tidak pernah takluk di bawah pengaruhnya. Dengan demikian, pendirian candi dalam sebuah wilayah kekuasaan lebih berhubungan langsung dengan pola kekuasaan, konsep teologis dan tradisi politik yang berkembang. Tampaknya, sesuai dengan kecenderungan kuat konsep teologisnya yang monoteistik, tradisi pola komunikasi yang demokratis antara penguasa dan rakyatnya serta kekuasaan Sunda yang terpusat dan tunggal, kelangkaan dan bahkan ketiadaan candi di Tatar Sunda memang sudah semestinya. Inilah kekhasan lokal dan kekayaan tradisi kekuasaan di Sunda. Masyarakat Sunda perlu membuang semacam “ratapan historis” kelangkaan candi di Jawa Barat sebagai sebuah indikasi rendahnya peradaban dan sebaliknya banyaknya candi sebagai indikasi prestasi peradaban. Persepsi ini justru sebuah sikap “minder kebudayaan” (cultural inferiority complex) dihadapan kebudayaan lain, sementara kebudayaan Sunda memiliki sistem sosial kebudayaan sendiri yang sesungguhnya lebih berorientasi nilai-nilai, relijiusitas dan hal-hal lain yang bersifat abstrak.Wallahu a’lam!!

Tradisi Egaliter Orang Sunda

Tradisi Egaliter Orang Sunda PENGARUH Hindu dan Budha datang ke pulau Jawa sekitar awal abad masehi dan daerah yang pertama bersentuhan dengannya adalah Jawa Barat dengan pusat pemerintahan yang diduga berada di sekitar Karawang dan Bekasi sekarang. Pengaruh kedua agama ini nampaknya kurang begitu kuat merekat pada masyarakat Sunda karena masyarakat Sunda sangat kuat dalam menganut keyakinan aslinya yang bercorak monoteistis yaitu mengabdi pada hyang tunggal. Bukti kuat pernyataan ini adalah bahwa hingga saat ini bukti-bukti arkais yang mendukung kuatnya pengaruh Hindu-Budha sangat sedikit ditemukan di Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak terdapat tinggalan bangunan dan monumen sakral yang bercorak Hindu dan Budha, ini disebabkan karena sosialisasi Hindu dan Budha yang sangat intensif, baik yang dilakukan oleh kalangan keraton maupun oleh para brahmana dan pedanda. Cepatnya penyebaran agama Hindu dan Budha pada masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan karena konsep dan ajaran god-kings (dewa-raja) yang sesuai dengan alam berfikir masyarakat Jawa ketika itu. Bagi masyarakat Jawa, raja dihayati sebagai panutan yang mutlak yang mesti mendapat anutan karena raja dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Gelar para raja adalah gabungan dari dua otoritas yaitu otoritas politik (raja) dan otoritas religius (dewa) yang tergabung dalam istilah-itilah seperti rajaresi, khalifatullah fil ‘ardhi sayidin panatagama dan lain-lain. Kepatuhan kepada raja secara militan selain berasal dari inti ajaran Hindu- Budha itu sendiri juga bersumber dari klasifikasi sosial yang sangat ketat. Ini tergambar dari stratifikasi yang muncul dalam masyarakat Jawa yang membuat dikotomi sosial secara tegas antar kelas seperti ningrat atau priyayi dan wong cilik. Pengahayatan raja sebagai titisan dewa dan adanya pengkelasan sosial secara tajam ini berakibat pada sulitnya atau tiadanya perbedaan pendapat antara raja dengan rakyatnya termasuk dalam persoalan agama. Keraton dalam kebudayaan Jawa adalah pemegang otoritas kebenaran. Oleh karena itu sifat dari kebudayaan Jawa adalah kebudayaan keraton di mana keraton berfungsi sebagai titik sentral agama, politik dan kebudayaan. Pada masyarakat Sunda, pola seperti ini tidak ditemukan. Corak budaya yang berkembang adalah kebudayaan rakyat di mana posisi keraton tidak terlalu menentukan dalam pembentukan suatu varitas budaya. Jenis kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris dengan berbagai keunikannya. Dengan kata lain, kebudayaan Jawa dapat didefinisikan sebagai kebudayaan feodal yang hirarkis sementara kebudayaan Sunda dapat dianggap sebagai kebudayaan rakyat yang egaliter yang mencerminkan pada kesamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis masa pra-Mataram dimana tidak hierarki bahasa seperti terlihat dalam undak-usuk sekarang. Istilah menak dan cacah juga dalam masyarakat Sunda ditemukan sebagai bentuk pengaruh kekuasaan dan kebudayaan Jawa di tatar Priangan sejak masa kekuasaan Mataram. Contoh lain yang dapat diajukan dalam mempertegas pendapat ini adalah dalam seni pewayangan atau pedalangan. Pada masyarakat Jawa, lakon cerita wayang merupakan sumber ilham dalam memahami fungsi-fungsi sosial mereka dalam hidup berbangsa dan berbudaya. Epos Mahabarata dan Ramayana menjadi sumber pendidikan etis yang menghasilkan prilaku-prilaku yang kastaistis seperti kemunculan slogan ningrat dan wong cilik tadi. Pada masyarakat Sunda, seni pewayangan atau pedalangan yang memainkan dua epos besar tadi hanya merupakan media hiburan pelepas lelah dalam aktifitas agrarisnya sehari-hari. Orang Sunda tidak menjadikan lakon cerita wayang sebagai sabda suci yang mesti diteladani. Mereka telah memiliki etika agraris yang sangat kuat yang tidak bisa digantikan dengan etika Hindu-Budha yang sangat rumit dengan nilai-nilai filosofisnya. Sifat egalitarian masyarakat agraris dan kepercayaan monoteistik orang Sunda yang sudah lama berakar kuat ini justru menjadi bekal penerimaan orang Sunda terhadap ajaran agama baru yang sesuai dengan kultur dan kepercayaan mereka yaitu Islam. Ketika Islam datang ke tatar Sunda dan mulai berinteraksi dengan masyarakatnya, spontan mendapat sambutan yang sangat luar biasa, terutama dari kalangan rakyat biasa. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa orang Sunda merupakan kelompok yang paling akhir menerima Islam di seputar tanah Jawa, ini bukan berarti sifat konfrontatifnya terhadap Islam, melainkan karena sosialisasi Islam yang agak terlambat ke wilayah ini. Gabungan fenomena di atas yaitu egalitarianisme masyarakat Sunda, komunikasi yang sejajar (demokratis) antara raja dan rakyatnya serta dikuatkan oleh pengaruh Islam yang luas setelahnya menjadi alasan sosial tidak ditemukannya banyak Candi di tatar Sunda. Egalitarianisme nilai-nilai masyarakat dan demokratisnya pola komunikasi penguasa rakyat berpengaruh pada cara raja dan rakyatnya memandang kekuasaan dan cara memandang dirinya masing-masing. Raja tidak perlu memisahkan dirinya dalam sebuah bangunan yang eksklusif dan kokoh jauh dari rakyatnya. Sebagaimana keraton berfungsi sebagai simbol pemisahan yang jelas antara kompleks kekuasaan raja dengan rakyatnya, candi juga dibangun sebagai simbol penegasan yang jelas antara raja dan rakyatnya dan lebih merupakan sarana eksklusif para raja melakukan ritus sesembahan dan pemujaan. Di tatar Sunda yang egaliter dan kedekatannya dengan alam sebagai masyarakat agraris menyebabkan fokus sesembahan dan penghormatan lebih langsung kepada alam dan ke sanghyang ketimbang kepada para raja.

Monoteisme Orang Sunda

Monoteisme Orang Sunda DARI berita sejarah yang ada dan dari hasil penelitian arkeologi terkini, Jawa Barat atau kawasan Sunda adalah daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India. Aktifitas politik pemerintahan dengan rangkaian kegiatan birokratisnya telah berjalan sejak awal-awal abad masehi. Hal ini menunjukan bahwa orang-orang Sunda adalah orang pertama di Indonesia yang telah mengerti dan menggunakan mekanisme birokrasi dalam mengatur hubungan penguasa-rakyat dan dalam hubungan sosial antara masyarakatnya. Pengaruh Hindu dan Budha yang datang dari India setelah mengalami proses sinkretisasi dengan agama lokal (animisme dan dinamisme) mulai diterima oleh kalangan elit politik kerajaan. Stratifikasi sosial yang kastaistis telah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri bagi para ningrat kerajaan, sementara masyarakat lapisan luar kerajaan masih menggunakan keyakinan lama yang menyembah hyang yang oleh Fa-Hien disebut sebagai “agama yang buruk” seperti tertuang dalam laporan berita Cina. Ungkapan “agama yang buruk” oleh Fa-Hien ini merupakan ungkapan yang biasa diucapkan oleh orang yang taat pada suatu agama terhadap orang yang beragama lain. Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat dan benda-benda lainnya. Hyang mengusai seluruh roh-roh tersebut dan mengendalikan seluruh kekuatan alam. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk dan takluk pada hyang ini, kekuatannya dianggap melebihi dewa-dewa Hindu yang datang kemudian. Dengan kata lain, orang-orang Sunda pra Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis dimana hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal di alam. Konsepsi ini sama dengan apa yang diajarkan oleh Islam, yaitu Allah, ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal) sama dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa dalam agama Islam. Ketika pengaruh Hindu masuk ke masyarakat Sunda, ajaran Hindu mempengaruhi keyakinan lokal masyarakat yang sudah mapan. Kedua keyakinan teologis ini kemudian mengalami proses sinkretisasi/pembauran teologis. Ini tergambar dalam hirarki kepatuhan yang terdapat pada Naskah Siksakandang Karesian yang berisi Pasaprebakti (Sepuluh Tingkat Kesetiaan) yang isinya sebagai berikut : “Anak satia babakti ka bapak; pamajikan satia babakti ka salaki; kawala satia babakti ka dunungan; somah satia babakti ka wado; wado satia babakti ka mantri; mantri satia babakti kanu manganan (komandan); nu nanganan satia babakti ka mangkubumi; mangkubumi satia babakti ka raja; raja satia babakti ka dewata; dewata satia babakti ka hyang.” Konsep hyang merupakan konsep yang memang sudah hidup pada orang Sunda jauh sebelum pengaruh Hindu dan Budha tersebut datang. Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di Candi tapi menyembah hyang di kahiyangan. Konsep kahiyangan sangat abstrak alias tidak menyebut tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam mulai dari para dewa lokapala (pelindung dunia) sampai pwah sanghyang sri (dewi padi), pwah naga nagini (dewi bumi) dan pwah soma adi (dewi bulan) yang menghuni jungjunan bwana (puncak dunia). Tradisi orang Sunda menyembah hyang bisa sebutkan sebagai salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di tatar Sunda Priangan. Kuatnya kepercayaan Sunda lama terhadap hyang yang monoteistik tidak mendorong orang Sunda untuk membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagai mana di Jawa Tengah dan Timur. Satu dua candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat, ketimbang menunjukkan kuatnya pengaruh agama Hindu-Budha, tampaknya dibangun lebih sebagai simbol kekuasaan bahwa disitu pernah ada penguasa kecil, keturunan dari Kerajaan Sunda.

Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

Menjawab Misteri Kelangkaan Candi di Tatar Sunda Oleh MOEFLICH HASBULLAH BELAKANGAN ini, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas) melalui Balai Arkeologi Bandung sedang mendapat pekerjaan besar di Jawa Barat, yaitu penggalian candi di daerah Karawang yang diduga merupakan sisa-sisa peninggalan dari kerajaan Tarumanegara dan penggalian candi yang baru ditemukan di daerah Bojongmenje Rancaekek, Kabupaten Bandung. Makna kedua temuan ini bagi masyarakat Jawa Barat merupakan suatu hal yang sangat berarti untuk memperjelas keberadaan orang-orang Sunda dalam pentas sejarah di Pulau Jawa pada masa klasik, yaitu masa sebelum pengaruh Islam masuk dan berkembang. Temuan Candi di daerah di Batujaya Karawang yang nampaknya bakal merupakan situs paling besar di Jawa Barat mempunyai hubungan yang erat dengan prasasti Tugu, yaitu prasasti yang terdapat di desa Tugu, dekat Tanjung Priok sekarang. Dalam Prasasti Tugu tersebut dinyatakan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan untuk menggali dua kanal, yaitu Candrabaga dan Gomati di mana kedua kanal tersebut alirannya terlebih dahulu dibelokan ke sekitar istananya dan kemudian di alirkan kembali ke muara. Panjangnya kanal tersebut setelah digali sejauh 6122 tumbak, oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka diperkirakan panjangnya 11 km. Jika perkiraan Purbatjaraka ini digunakan sebagai patokan dalam menelusuri bekas reruntuhan keraton Tarumanegara, maka situs Batujaya tersebut merupakan lokasi yang paling tepat untuk diasumsikan sebagai lokasi bekas keraton Raja Purnawarman karena jarak antara lokasi situs dengan muara Bendera (tempat terpecahnya aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju muara Pakis dan yang menuju muara Gembong) berjarak sekitar ±11 kilometer. Perkampungan yang terletak antara dua pecahan aliran sungai Citarum sampai bibir pantai Pakis dan Muara Gembong merupakan sebuah delta yang terus mengalami pendangkalan akibat kegiatan sedimentasi fluviatil/erosi yang dibawa oleh aliran sungai Citarum. Dugaan bahwa pantai Purba tempat bermuaranya kanal/sungai Candrabaga dan Gomati yang digali oleh Raja Purnawarman terletak di muara Bendera, berdasarkan pada kegiatan sedimentasi fluviatil (sungai) yang terjadi pada aliran sungai Citarum. Dari arah hulu, aliran sungai membawa sumber-sumber endapan seperti sampah dan lumpur yang kemudian membentuk delta pada muara bendera tersebut. Akibat sedimentasi fluviatil (sungai) yang terus menerus tersebut, telah memperbesar areal delta dan memecah aliran sungai Citarum menjadi dua, yaitu yang menuju muara Pakis dan yang menuju muara Gembong sekarang. Jarak antara muara Bendera ke muara Pakis sekarang sekitar + 12 km dan yang menuju muara Gembong kira-kira berjarak + 15 km. Penelitian geologi di daerah sekitar muara bendera mungkin akan memberikan jawaban yang lebih akurat tentang dugaan letak muara Purba seperti yang tertulis dalam Prasasti Tugu. Hal paling baru dalam dunia arkeologi di Jawa Barat adalah temuan candi yang terletak di daerah Rancaekek, Kabupaten Bandung. Di areal situs ini sedang dilakukan penggalian yang selanjutnya sedang direncanakan upaya restorasi dan rekonstruksi candi oleh tim khusus ahli restorasi candi dari UGM. Seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Ayatrohaedi dan Dr. Tony Djubianto dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat pada tanggal 9 September 2002, dimungkinkan bahwa candi tersebut berasal dari abad ke VII berdasarkan pada bentuk pelipit dan beberapa aspek lain yang terdapat pada pahatan batu candi. Atau mungkin dari abad sebelum itu karena yoni (simbol syiwa)-nya ternyata tidak ditemukan yang berarti candi itu didirikan masa pra-Hindu. Jika memang asumsi ini benar, maka dapat dimungkinkan bahwa candi tersebut dapat memberikan jawaban atas keterputusan sejarah Sunda pasca Tarumanegara. Berita prasasti tertua pasca Tarumanegara adalah prasasti yang ditemukan di Bogor yang berangka tahun 932 M. atau abad ke-10 yang dikenal dengan prasasti Kebon Kopi. Kendati demikian, penemuan candi-candi tersebut masih belum menjawab pertanyaan misteri selama ini yaitu “Mengapa di Tatar Sunda sangat langka ditemukan candi-candi peninggalam kerajaan-kerajaan masa lampau seperti halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur?” Selama ini mengemuka beberapa jawaban yang mencoba menjelaskan pertanyaan tersebut tapi belum didukung oleh bukti-bukti sejarah yang kuat. Pertama adalah jawaban sosiologis-agrikultural dan kedua, jawaban proses Islamisasi. Jawaban sosiologis-agrikultural misalnya ditemukan dalam buku Nina Herlina (1998:26): “Mata pencaharian utama penduduk Priangan pada mulanya berladang atau ngahuma; baru kemudian bersawah. Sejak zaman kerajaan Sunda, orang Sunda dikenal bermata pencaharian sebagai peladang. Ciri yang menonjol pada masyarakat peladang adalah kebiasaan selalu berpindah tempat untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan berladang ini berpengaruh pada tempat tinggal. Mereka tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh, cukup yang sederhana saja. Kemungkinan besar itulah salah satu sebab mengapa di Priangan tidak banyak peninggalan berupa candi atau keraton seperti di Jawa Tengah.” Sedangkan jawaban yang kedua menjelaskan bahwa proses Islamisasi di Sunda cenderung lebih intensif dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proses Islamisasi yang lebih intensif berpengaruh pada militansi beragama orang Sunda. Karena keislamannya yang kuat, masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan Islam. Hingga saat ini kedua asumsi tersebut di atas belum didukung oleh bukti-bukti sejarah alias baru dugaan. Tulisan ini mengangkat perspektif lain yang selama ini belum diungkap dengan mengangkat tiga argumen yaitu monoteisme orang Sunda, tradisi egalitarian masyarakatnya dan realitas kekuasaan di Sunda pra-Islam.

Candi Jiwa (Karawang)

3. Candi Jiwa (Karawang) Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Kata "jiwa" sangat dekat dengan nama salahsatu nama dewa dalam agaman Hindu yaitu Dewa Syiwa. Perubahan dari "syiwa" menjadi "jiwa" bisa terjadi karena perjalanan waktu, atau karena aksen Sunda. Barangkali kedekatan kata syiwa dan jiwa bisa dijadikan salah satu objek penelitian meskipun agak aneh jika data yang telah didapat bahwa candi Jiwa lebih kepada Budha daripada Hindu. Di Budha tidak ada dewa Syiwa. Penanggalan Berdasarkan analisis radiometri Carbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12. Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik China, gerabah, votive tablet, lepa (pleister), hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.

Situs Percandian Batujaya (Kerawang)

2. Situs Percandian Batujaya (Kerawang) Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik. Lokasi Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan. Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada. Situs Batujaya terletak di lokasi yang relatif berdekatan dengan Situs Cibuaya (sekitar 15km di arah timur laut), yang merupakan peninggalan bangunan Hindu, dan situs temuan pra-Hindu "kebudayaan Buni" yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama Masehi. Kenyataan ini seakan-akan mendukung tulisan Fa Hsien yang menyatakan: "Di Ye-po-ti (Taruma, maksudnya Kerajaan Taruma) jarang ditemukan penganut Buddhisme, tetapi banyak dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor". Penelitian Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2005 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya. Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu oleh EFEO (École Français d’Extrême-Orient) dan dukungan dana dari Ford Motor Company digunakan untuk kegiatan kajian situs ini. Bangunan dan temuan-temuan lainnya Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan. Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit (juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama. Candi Bandongan - Batujaya yang tengah dipugar Candi Lemah Duhur Lanang di desa Cibuaya Candi Lemah Duhur Lanang di desa Cibuaya yang sudah rusak Tumpukan Bata yang biarkan, di lokasi candi Blandongan - Batujaya

Candi - Candi di Jawa Barat

Candi - Candi di Jawa Barat 1. Candi Cangkuang (Garut) Candi Cangkuang terletak pada sebuah “pulau” kecil yang berbentuk memanjang, membujur arah barat-timur dengan ukuran 16,5 hektar. Pulau kecil ini terletak di tengah sebuah danau yang dikenal dengan nama Situ Cangkuang. Di danau ini selain terdapat pulau panjang, terdapat juga dua pulau lain yang letaknya di sebelah selatan dan tenggara pulau yang panjang. Kedua pulau ini berukuran lebih kecil dan berbentuk agak bulat. Di sekeliling pulau kecil ini merupakan daratan rawa yang berair. Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967 dan 1968) berhasil menggali bangunan makam. Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya?), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya. Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m. Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil). Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga. Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm. Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 35%-an. Jumlah itu sebetulnya kurang memadai untuk membangun kembali sebuah bangunan yang telah runtuh. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.

Candi Terbanyak Ada di Jawa Barat!

Candi Terbanyak Ada di Jawa Barat! 12919875512092607126 Candi Cangkuang Garut, Jawa Barat. Boleh Nyomot dari outdoor Lover.blogspot.com Selama ini yang kita kenal sebagai daerah tempat bangunan sejarah jaman kerajaan adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bangunan peninggalan sejarah kerajaan ini lebih kita kenal dengan nama Candi. Siapa yang tidak kenal dengan Candi Borobudur. Candi yang termasuk dalam salah satu keajaiban dunia ini merupakan Candi terbesar. Candi Borobudur tidak hanya diakui oleh Indonesia sendiri namun juga dunia. Setiap hari raya agama budha, berbagai tamu dari Negara tetangga melakukan ritual agama di tempat ini. Selain candi Borobudur, kita juga kenal Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Kalasan, Candi Dieng, Candi Sewu, Candi Singasari, Candi Kidal, dan ada bebreap Candi lagi yang tidak saya ketahui. Sekalipun kita banyak mengenal banyak Candi di Jawa dan terkenal. Namun ternyata baru-baru ini banyak ditemukan Candi-candi di Jawa Barat, sebut saja Candi yang sudah lama di temukan Candi Cangkuang di Garut, Candi Rancaekek, Candi Jiwa di Karawang. Selain Candi yang telah ditemukan, masih banyak Candi-candi sekitar puluhan atau bahkan ratusan Candi berada di daerah Jawa Barat dan dan Banten. Candi-candi tersebut adalah: Candi bayar Candi mandian, Candi cukur, Candi Sunatan, Candi kurud, Candi kawinkeun, Candi cobaan, Candi asaan, Candi pake, Candi ditu Candi dieu, Candi Sintreuk, Candi Teunggeul, Candi Tulis, Candi Ketik, Candi Hias, Candi Tembok, Candi Usapan. Kompasianers tidak percaya? Silahkan Tanya orang Sunda! Masih banyak Candi-candi lainnya yang belum terungkap di Jawa Barat namun sudah diprediksikan ada karena meninggalkan artefak-artefaknya, seperti Candi Teangan, Candi Kerok dan lain-lain. Bagi Kompasianer yang berasal dari Tatar Sunda barangkali ingin berkontribusi untuk menemukan Candi-candi lainnya, silahkan isi kolom komentar, akan ada hadiah menarik dari Kampas Oncom. Bagi yang membaca artikel ini pun ternyata sudah menemukan Candi yaitu Candi bawa ka Rumah Sakit Jiwa karena tertawa sendirian, Ia soalnya Candi Ubaran….. Salam Candi Tipu Homor belaka, plagiat dari sms seorang teman, dan telah diubah seperlunya.

Candi di Jawa Barat

Candi di Jawa Barat Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina yang memuat uraian tentang Sunda. Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara. Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S. Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M), Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor). Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 - 395 M). Raja Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 - 434 M), yang membangun ibukota kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan oleh menantunya pada tahun 669 M. Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 - 561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura, yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke tempat lain. Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S. Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman. Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M, mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan. Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya, Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan di Kerajaan Mataram Hindu. Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis (ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa Barat.

Agama Samawi

Agama Samawi Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi atau agama Abrahamik. Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia. Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa. Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia. Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak memengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia. Agama dan filsafat dari Timur Agni, dewa api agama Hindu Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia. Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China. Agama tradisional Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. "American Dream" American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"), yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya. Pernikahan Agama sering kali memengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya. Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

Kesenian

Kesenian Karya seni dari peradaban Mesir kuno. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Sistem Kepercayaan Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: ... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan

Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain: Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi) Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: alat-alat produktif senjata wadah alat-alat menyalakan api makanan pakaian tempat berlindung dan perumahan alat-alat transportasi Sistem mata pencaharian Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: Berburu dan meramu Beternak Bercocok tanam di ladang Menangkap ikan

Wujud dan komponen

Wujud dan komponen Wujud Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan) Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Komponen Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama: Kebudayaan material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan nonmaterial Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Unsur-Unsur

Unsur-Unsur Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: 1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi sistem ekonomi keluarga kekuasaan politik 2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya organisasi ekonomi alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) organisasi kekuatan (politik)