Jumat, 15 Maret 2013

Celempung dan Celempungan

Celempung dan Celempungan Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempungnya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi. Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter. Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Katan “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada. Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai. Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.

Kampung Pulo

Kampung Pulo Merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Menurut cerita rakyat, masyarakat Kampung Pulo dulunya menganut agama Hindu, lalu Embah Dalem Arif Muhammad singgah di daerah ini karena terpaksa mundur pada saat mengalami kekalahan sewaktu menyerang Belanda. Karena malu kepada Sultan Agung maka Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram. Pada saat itu beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat Kampung Pulo. Sampai dengan beliau wafat dan dimakamkandi Kampung Pulo, beliau meinggalkan 6 orang anak dan salah satunya adalah pria. Oleh karena itu di Kampung Pulo didirikan 6 buah rumah adat yang berjajar saling berhadapan masing-masing 3 buah rumah di kiri dan di kanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, serta yang tinggal di dalam rumah tersebut tidak boleh melebihi dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak laki-laki sudah dewasa dan menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus segera meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % dari warga Kampung Pulo beragama Islam, mereka tetap melaksanakan sebagian dari upacara ritual agama Hindu. Dalam adat istiadat Kampung Pulo terdapat beberapa ketentuan yang masih berlaku hingga sekarang yaitu : • Dalam berziarah ke makam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu berupa baraan api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan cerutu. Hal ini dipercaya untuk mendekatkan diri kepada roh para leluhur. • Dilarang berziarah pada hari Rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkenankan bekerja berat, begitu juga Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut dipergunakan untuk mengajarkan agama. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila melanggar aturan tersebut, maka akan timbul malapetaka bagi masyarakat kampung ini. • Bentuk atap rumah selamanya harus memanjang (Jolopong) • Tidak boleh memukul gong besar • Khusus di Kampung Pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain. Setiap tanggal 14 bulan Maulud mereka melaksanakan upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakan dan memberi berkah. Lokasi: Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Koordinat : 7° 6' 11" S, 107° 55' 7" E Telepon: Email: Internet: kabgarut@westjava-indonesia.com Arah: Kampung Pulo terletak kurang lebih 50 Km ke arah timur kota Bandung dan 13 Km ke arah barat kota Garut. Jadi, letak kampung ini berada di antara kota Bandung dengan kota Garut. Apabila mempergunakan kendaraan umum dapat ditempuh dengan naik bus dari terminal Cicaheum jurusan Garut sampai ke alun-alun Kecamatan Leles. Perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan angkutan pedesaan, ojeg sepeda motor, atau delman ke arah Kampung Ciakar Desa Cangkuang yang berjarak sekitar 3 Km. Setelah tiba di Kampung Ciakar (tepi danau), untuk menuju Kampung Pulo dilakukan dengan naik rakit melalui situ atau Danau Cangkuang. Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Garut

Kampung Kuta

Kampung Kuta Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan karena sesuai dengan lokasi Kampung Kuta yang berada di Iembah yang curam sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan, dalam bahasa Sunda disebut Kuta (artinya pager tembok). Mengenai asal-muasal Kampung Kuta, dalam beberapa dongeng buhun yang tersebar di kalangan masyarakat Sunda sering disebut adanya nagara burung atau daerah yang tidak jadi/batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh. Daerah ini dinamai Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan sekitarnya menganggap Kuta Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaninggal sekarang. Masyarakat Cisaga menyebutnya dengan nama Kuta Jero. Dongeng tersebut ternyata mempunyai kesamaan dengan cerita asal-usul Kampung Kuta. Mereka menganggap dan mengakui dirinya sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung Kuta sebagai penunggu atau penjaga kekayaan Raja Galuh. Pelapisan sosial yang didasarkan atas status dan peranan, telah menyebabkan dalam masyarakat terdapat golongan yang memimpin yang golongan yang dipimpin. Golongan yang memimpin/pemimpin formal menduduki jabatan tertentu dalam lembaga pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, ketua RW, dan ketua RT. Sedangkan pimpinan nonformal adalah pimpinan berdasarkan penghormatan dan penghargaan masyarakat terhadap seseorang karena alasan usia, pengalaman, pengetahuan, dan peran di lingkungannya. Pimpinan nonformal biasa dikenal dengan sebutan sesepuh dan kuncen. Masyarakat Kampung Kuta sebagai sebuah komunitas yang walaupun terikat dalam aturan-aturan adat, akan tetapi mereka mengenal dan menggemari berbagai kesenian yang digunakan sebagai sarana hiburan, baik kesenian tradisional maupun kesenian modern seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian dangdut. Kesenian tersebut biasanya dipertunjukkan pada saat mengadakan selamatan/hajatan terutama hajatan perkawinan dan penerimaan tamu kampung. Pertunjukannya cukup diminati oleh segenap masyarakat dan mereka menyaksikan dengan cukup antusias. Untuk menuju ke kampung tersebut jarak yang harus ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum sampai ke Kecamatan Rancah. Sedang dari Kecamatan Rancah menggunakan motor sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok-kelok, serta banyak tanjakan yang cukup curam. Jika melalui Kecamatan Tambaksari dapat menggunakan kendaraan umum mobil sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan serupa. Telepon: 0265-771421 Email: Internet: Arah: 34 km arah utara Ciamis Fasilitas Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kabupaten Ciamis Jl. Mr. Iwa Kusumasumantri no. 14 Ciamis 46213

Kampung Adat Mahmud

Kampung Adat Mahmud Kampung Mahmud mempunyai jumlah penduduk sekitar 200 kepala keluarga yang menempati daerah seluas 4 hektar, dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Pendiri Kampung Mahmud adalah Embah Eyang Abdul Manaf keturunan dari Syarif Hidayatuliah seorang wali yang berasal dari Cirebon. Beliau meninggalkan kampung halamannya menuju ke tanah suci Mekah untuk beberapa saat. Sampai pada suatu saat dia memutuskan untuk kembali ke tanah airnya. Sebelum kembali dia merasakan satu firasat bahwa negerinya akan dijajah oleh bangsa asing (Belanda). Oleh karena itu, sebelum pulang dia berdoa secara khusus di satu tempat yang dinamakan Gubah Mahmud yang berdekatan dengan Masjidil Haram. Sesuai dengan petunjuk yang didapatkannya di Gubah Mahmud, dia segera mencari rawa. Pencarian berakhir setelah ditemukan lahan rawa yang terdapat di pinggiran Sungai Citarum. Karena akan dijadikan lahan perkampungan, rawa tersebut kemudian ditimbun. Satu persatu rumah bermunculan sehingga membentuk sebuah kampung. Kampung tersebut selanjutnya diberi nama Mahmud, nama yang sama dengan tempat Eyang Manaf berdoa ketika berada di Mekah, yakni Gubah Mahmud. Masyarakat Kampung Mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap para leluhur, mereka memelihara makamnya dengan baik, bahkan menempatkannya sebagai makam keramat yang senantiasa diziarahi oleh mereka. Selain itu tidak adanya kesan yang menonjol atau menarik perhatian dari perkampungan Mahmud dan suasana perkampungan yang hening, pada zaman Belanda Kondisi ini dimanfaatkan untuk tempat persembunyian yang aman oleh penduduk daerah sekitar dari para penjajah yang datang ke tanah air. Eyang Abdul Manaf mempunyai 7 generasi penerus hingga sekarang ini, yaitu di antaranya: Eyang Sutrajaya, Eyang Inu, Eyang Mahmud lyan, Eyang Aslim,Eyang Kiai H.Zaenal Abidin, Kiai H.Muhamad Madar dan H. Amin, Secara administratif Kampung Mahmud termasuk ke dalam wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Posisi tepatnya, Kampung Mahmud berada di RW 04, dengan hanya dua RT di dalamnya, yakni RT 01 dan RT 02. Tempat ini cukup mudah dijangkau dari Kota Bandung, baik dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Ada beberapa alternatif rute yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud, khususnya, dengan kendaraan umum. Pertama, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Di bawah pukul 09.00 WIB, angkutan tersebut biasanya hanya sampai Bumi Asri I. Untuk melanjutkan perjalanan ke Kampung Mahmud, tersedia delman atau ojeg. Alternatif kedua, dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa - Cibaduyut, lalu turun di terminal Leuwi Panjang. Dari terminal itu naik angkutan kota dengan jurusan Cipatik, lalu berhenti di Rahayu. Selanjutnya naik ojeg menuju Kampung Mahmud. Perjalanan melalui kedua rute tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 90 menit. Alamat: Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung Koordinat : 6°58'18"S, 107°32'24"E Telepon: Email: Internet: Arah: dari terminal Kebun Kelapa menggunakan angkutan kota dengan rute Kebun Kelapa -Cibaduyut, lalu berhenti di terminal Tegallega. Dari terminal tersebut, menggunakan angkutan kota dengan rute Tegallega-Mahmud, kemudian berhenti di lokasi Kampung Mahmud. Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut:

Kampung Naga

Kampung Naga Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan koordinat Latitude -7.363722 dan Longitude 107.994425 , seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Lokasi: Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Koordinat : -7.363722 S, 107.994425 E Telepon: (0265) 330165 Email: - Internet: kabtasikmalaya@westjava-indonesia.com Arah: Kurang lebih 30 kilometer dari Kota Tasikmalaya, 26 kilometer dari Kota Garut Fasilitas: - Jam Buka: - Tutup: - Tiket: - Informasi Lebih Lanjut: Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya, Jl. Otto Iskandardinata No.2, Tasikmalaya

Kampung Ciptagelar

Kampung Ciptagelar Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model 'sistem kepemimpinan' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat kebiasaan nenek moyang'. Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan "hijrah wangsit" ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. Masyarakat atau warga Kampung Ciptagelar sebenarnya tidak terbatas di kampung tesebut saja tetapi bermukim secara tersebar di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Namun demikian sebagai tempat rujukannya, "pusat pemerintahannya" adalah Kampung Gede, yang dihuni oleh Sesepuh Girang (pemimpin adat), Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang) dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang ingin tinggal sekampung dengan pemimpin adatnya. Kampung Gede adalah sebuah kampung adat karena eksistensinya masih dilingkupi oleh tradisi atau aturan adat warisan leluhur. Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki. Lokasi: Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Koordinat : 06° 47` 10,4`` S, 106° 29` 52’’ E Telepon: (0266) 227353 Email: - Internet: - Arah: 14 km dari Desa Sirnaresmi 14 Km, 27 km dari kota kecamatan, 103 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, dan 203 dari Bandung 203 km ke arah barat Fasilitas: - Jam Buka: - Tutup: - Tiket: - Informasi Lebih Lanjut: Dinas Kepariwisataan dan Kebudayaan Kabupaten Sukabumi Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat

Kampung Urug

Kampung Urug Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Pajajaran Jawa Barat. Bukti dari anggapan tersebut di antaranya menurut seorang ahli yang pernah memeriksa konstruksi bangunan rumah tradisional di Kampung Urug, beliau menemukan sambungan kayu tersebut sama dengan sambungan kayu yang terdapat pada salah satu bangunan di Cirebon yang merupakan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran. Salah seorang keturunan Prabu Siliwangi yang dianggap leluhur kampung Urug bernama Embah Dalem Batutulis atau Embah Buyut Rosa dari Bogor. Mereka tidak berani menyebut Embah Buyut Rosa, katanya "teu wasa bisi kasiku" (tidak berani takut kena bencana). Asal-usul Kampung Urug berdasarkan latarbelakang sejarahnya memiliki beberapa versi. Perbedaan tersebut bukan terletak pada siapa dan darimana Ieluhur mereka itu, akan tetapi terletak pada masalah tujuan atau motivasi yang menjadi penyebab berdirinya Kampung Urug. Kata Urug dijadikan nama kampung, karena menurut mereka berasal dari kata "Guru", yakni dengan mengubah cara membaca yang biasanya dari kiri sekarang dibaca dari sebelah kanan. Kata "Guru" berdasarkan etimologi rakyat atau kirata basa adalah akronim dari digugu ditiru. Jadi seorang guru haruslah "digugu dan "ditiru", artinya dipatuhi dan diteladani segala pengajaran dan petuahnya. Jarak tempuh Kampung Urug dari Ibukota provinsi Jawa Barat lebih kurang 165 kilometer ke arah barat. Jarak dari Ibukota Kabupaten Bogor lebih kurang 48 kilometer, dari kota kecamatan Sukajaya lebih kurang 6 kilometer, sedangkan dari kantor Desa Kiarapandak lebih kurang 1,2 kilometer. Kondisi jalan dari kantor kecamatan Sukajaya ke Kampung Urug berbelok-belok naik turun mengikuti lereng bukit dengan badan jalan yang sempit. Sepanjang jalan dari kantor kecamatan ke kantor kepala desa Kiarapandak sudah beraspal, namun sebagian besar rusak berat. Jalan dari kantor desa ke kampung Urug, beraspal dan kondisinya cukup baik. Ke lokasi dapat menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Adapun menggunakan angkutan umum dari pertigaan Jasinga-¬Leuwiliang menuju ke Cipatat. Dipertigaan jalan raya Cipatat dan jalan desa bisa menggunakan ojeg sampai ke kampung Urug, atau bisa juga menggunakan mobil Carry dari Jasinga - Leuwiliang sampai ke kampung Urug. Lokasi: Koordinat : 6° 34' 42" S, 106° 29' 28" E Telepon: Email: Internet: Arah: 165 km ke arah barat Kota Bandung; 48 km ke arah timur Kota Bogor Fasilitas: Jam Buka: Tutup: Tiket: Informasi Lebih Lanjut: Kantor Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bogor Jl. Segar III Kav. V Komplek Perkantoran Pemda Cibinong Bogor Objek Wisata Lainnya Kampung Ciptagelar Kampung Adat Mahmud Kampung Pulo Kampung Naga Kampung Kuta