ka-rinding adalah satu grup musik etnik yang berasal dari kota
Karawang. Dimana mereka mengusung karinding sebagai instrument utama
dalam bermusik. Ka-Rinding sendiri terbentuk pada tanggal 08 April 2012,
dengan personil awal 2 orang. Galang “Inoe” (Militian Wolfstein) dan
Aditiya “Black” Wijaya (Friday in 13th). Konsep dari Ka-Rinding sendiri
adalah eksplorasi alat musik bambu, dimana mereka tidak hanya terpaku
pada satu instrument saja. Ada beberapa alat musik yang dimainkan adalah
hasil inovasinya. Salah satunya modifikasi dari celempung sunda yang
memiliki resonansi yang lebih ketimbang celempung biasa.
Seiring berjalannya waktu, Ka-Rinding berkembang dengan masuknya Jeihan (Friday in 13th) dan Hilva sebagai personil baru. Tidak hanya bermusik, tapi Ka-Rinding pun secara rutin melakukan workshop disanggar-sanggar dikota Karawang dengan tema “Workshop Bebas Eksplorasi Karinding dan Alat Musik Bambu”.
Tujuan terbentuknya Ka-Rinding sendiri adalah bukan semata menjadi sebuah grup atau komunitas, melainkan Ka-Rinding sendiri berharap mereka bisa menjadi keluarga atau rumah kedua bagi para personilnya dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia melalui perkembangan dunia modern. .
Seiring berjalannya waktu, Ka-Rinding berkembang dengan masuknya Jeihan (Friday in 13th) dan Hilva sebagai personil baru. Tidak hanya bermusik, tapi Ka-Rinding pun secara rutin melakukan workshop disanggar-sanggar dikota Karawang dengan tema “Workshop Bebas Eksplorasi Karinding dan Alat Musik Bambu”.
Tujuan terbentuknya Ka-Rinding sendiri adalah bukan semata menjadi sebuah grup atau komunitas, melainkan Ka-Rinding sendiri berharap mereka bisa menjadi keluarga atau rumah kedua bagi para personilnya dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia melalui perkembangan dunia modern. .
Karinding lekat
dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai
permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah
Pasundan sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa
ditemukan di Kampung Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarang,
satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo.
Hingga sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan
baik. Secara turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari
mendiang Mbah Kaman era 1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era
1945. Setelah itu diturunkan pada Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai
membuat grup dan merekrut pemain.
Di
masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna, Sugandi,
Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan Sanggar
Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar
sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun
2003, usaha menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase
kedua kebangkitan Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat
menjadi penerus Oyon.
Karinding
di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon aren-red).
“Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan,karena
bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda
dengan pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil
niranya. Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari
lima Karinding yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu
Karinding yang cocok dimainkan.
“Cara buatnya lumayan lama.Enaunya
dikeringkan dulu lalu dibelah, kulit luarnya jangan dibuang sampai
tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan dulu, bisa sampai 2 minggu, “
papar Sule, aktivis budaya Sunda.
Karinding
tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat kering kawung akan
cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso raut, bedog,
peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon. Rentang
antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari
telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari
telunjuk saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini
semakin jarang ditemui.
Menurut
Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding terakhir adalah
almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat setelah
festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna
meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.
Setelah
ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa Cikondang,
Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding.
”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang.
Kakeknya masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.
Dahulu
di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat individual
yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana
diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di
Cikondang, main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa
main karinding berarti dia sudah dewasa dan boleh menikah.
Gianjar,
peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana.
Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu
biasanya khas dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas
Cineam. Ada juga yang mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok,
dan yang bambu untuk cewek,” tambah pria yang juga perajin pisau ini.
Hanya
satu kunci nada yang bisa dimainkan Karinding. Oleh karena itu,
Karinding mesti dipadukan dengan alat-alat musik tradisional (seperti
angklung dan celempungan) untuk menghasilkan harmonisasi nada. Nada
Karinding sangat ringan dan rendah. Memiliki empat bagian, yaitu bagian
jarum tempat keluarnya nada yang disebut buntut lisa, lalu buntut
sebagai pegangan. Bagian tengah yang disebut pahul berfungsi untuk
mempercepat getaran dan bagian ujung yang disebut hulu sebagai sumber
getaran. Hulu jika dipukul oleh tangan akan menggerakan buntut lisa. Sim salabim, keluarlah nada dari alat Karinding.
Soal
bunyi dari bahan bambu dan kawung tentu saja berbeda. Sule berpendapat
bunyi Karinding bambu lebih keras dari Karinding kawung. Karinding bambu
dimainkan dengan cara dipetik tetapi sedangkan karinding kawung
disentir (dipukul-red) sehingga lebih nyaring. Untuk perawatan biasa
menggunakan kemiri yang dihaluskan, lalu dioles ke serat buntut lisa.
Kalau buntut lisa menurun, harus diangkat lalu dioleskan minyak kemiri.
Menyimpannya pun tak bisa sembarangan. Supaya suara tetap bening, buntut
dilubangi dan diberi tali lalu digantung di atas tungku.
“Karinding
harus sering dipanaskan. Pengeringan tidak dijemur di bawah matahari
karena suara akan tidak nyaring. Tapi diikat dengan seutas tali dan
dikeringkan di atas tungku, diunun na luhur hawu,” papar Oyon. Jelas saja, jika semakin hitam Karinding maka semakin tua pula umurnya.
Uniknya,
sampai sekarang, pemain Karinding harus handal mengatur pernafasan dan
pandai mengolah nada. Karinding tidak seperti alat musik lain yang
memiliki ketukan tertentu. ”Karena karinding terdapat dua suara. Saat
dimainkan berbeda, saat menggunakan resonansi tenggorokan, ditarik,
hasilnya beda,” tutur Oyon.
Sule menambahkan, kunci untuk menghasilkan suara pada karinding, terletak pada lokbangkong (amandel-red). “Karindingnya sendiri sudah menghasilkan suara. Kemudian karena lokbangkong-nya membesar dan mengecil, maka nada yang dihasilkan pun ada nada tinggi dan ada nada rendah.“
Lagu yang dimainkan dapat berupa lagu khusus maupun sederhana, biasanya ditambahi syair dan pantun. Lagu-lagunya antara lain Rayak-Rayak, Nanyaan (melamar istri), Megapudar, Sieuh-Sieuh, Jeung Jae, dan Karinding.
Bagi
masyarakat Sunda, khususnya petani, Karinding memiliki peran penting.
”Pada jaman dahulu para petani biasa menunggui sawah dengan mengusir
hama. Salah satunya dengan Karinding itu,” jelas Oyon.
“Tapi
ada lagu yang tidak boleh dimainkan malam hari, karena bisa
mendatangkan orang hutan,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Maret
enam puluh tujuh tahun yang lalu. Lagu Dengkleng tabu dimainkan dengan Karinding pada malam hari, karena menurut mitos lokal bisa mendatangkan macan Siliwangi.
Asal
mula karinding sendiri masih menjadi pertanyaan. “Orang yang disini tau
bahwa yang membuat karinding ini adalah seorang pangeran, yakni
Kalamanda,” tutur Sule. Pangeran Kalamanda ini dipercaya membuat alat
musik yang mirip dengan hewan yang disebut kakarindingan, untuk menarik perhatian lawan jenis.
Namun setelah dilacak, Sule mengatakan asal-muasal Karinding tertulis dalam naskah Sunda yang paling tua, Siksakandang Karsian. “Alat
alat seperti angklung, kujang, karinding dan lain lain sudah ada
ditulis disitu pada zaman didirikannya kerajaan Padjajaran.”
Berdasarkan
Kamus Ensiklopedi Sunda, alat musik tradisional Karinding ternyata
lahir karena cinta. Konon, Kalamanda jatuh hati setengah mati kepada
seorang putri menak, Sekarwati. Ketika itu, orang tua si remaja putri
yang dari kalangan bangsawan memagari ketat anaknya. Mereka dipinggit.
Kalamanda
gelisah. Sudah sekian lama ia memendam rasa cintanya kepada Sekarwati.
Akhirnya terbetik dalam benaknya membuat alat untuk berkomunikasi. Dari
pelepah nira atau kawung, Kalamanda membuat sebuah waditra, yang kini dikenal dengan nama Karinding.
Alunan
suara yang dihasilkan dari getaran sembilu kawung yang pipih itu mampu
merasuk sukma Sekarwati. Akhirnya Kalamanda pun bersanding dengan gadis
idamannya itu. Kalamanda menamai alat ciptaannya itu sekenanya saja,
yakni Karinding. Wilayah Cineam ketika itu masih berupa rawa-rawa.
Di lingkungan seperti itu, hidup binatang sawah kakarindingan.
Masyarakat di sekitar pesawahan menyukai binatang itu karena bentuknya
lucu. Tentu saja sang gadis pujaan termasuk yang menyenanginya juga.
Dengan spontan, Kalamanda menyebut alat musik yang dibuatnya dengan
Karinding. Para pemuda lalu mengikuti jejak Kalamanda.
Yang
menjadi khas adalah tiap karinding tidak bisa sama resonansinya, ”Jadi
kalau misalnya kita buka pintu jadi si wanita sudah tau pasangannya dari
suara dari cara mukulnya sudah tau,” papar Sule. Kini, binatang itu
kini sudah tak tampak lagi. Yang membuat kita miris adalah anak-anak
muda sekarang, sudah tak mengenal wujud binatang itu. Bahkan, nama seni
Karinding pun masih terdengar asing.
Oyon
menjelaskan, karinding di jaman sekarang memiliki dua buntut lisa,
berbeda dengan karinding di jaman Kalamanda. ”Asal mulanya, buntut lisa
satu, mengikuti bentuk kakarindingan.”
Saat
ini Karinding bukan lagi alat musik yang fungsinya sebatas untuk
mengusir hama, atau pemikat hati wanita tapi sudah menjadi bagian dari
alat musik masyarakat sunda, walaupun masih terkesan eksklusif.
Karinding hanya tampil di acara tertentu saja. Semisal acara di malam
bulan purnama atau jika ada panggilan dari birokrat. Terlepas dari itu,
tidak banyak yang tahu bahwa Karinding sudah menjadi salah satu koleksi
museum di Jepang, sementara di negeri sendiri keberadaannya masih belum
dilirik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar