Alat Musik Tradisional Karinding Tak Lagi Asing
Oleh: Hanhan Husna
Minggu, 18 Desember 2011, 11:37 WIB
Minggu, 18 Desember 2011, 11:37 WIB
INILAH.COM, Bandung - Alat musik karinding kembali populer
khususnya di Jabar. Padahal, sebelumnya alat musik tradisional ini
disebut-sebut sudah punah.
Sore itu, para personel Karinding Attack sedang sibuk. Di sebuah studio di kawasan Ujungberung, menggunakan alat musik tradisional seperti karinding, mereka mengaransemen sebuah lagu milik Peterpan. Rencananya, lagu itu akan masuk ke dalam album instrumental Peterpan yang akan diluncurkan tahun depan.
Ya, alat musik karinding kembali populer, terutama di kalangan anak muda penggemar musik cadas. Entah bagaimana hubungannya, faktanya sebagian besar penggemar karinding adalah mereka yang biasa mendengarkan musik aliran metal atau punk tersebut. Tak hanya sebagai alat musik tradisional, karinding pun mulai dikolaborasikan dengan genre lain, mulai dari pop, jazz, hingga musik cadas.
Padahal, sekitar lima tahun lalu, alat musik yang terbuat dari bambu itu masih asing terdengar di masyarakat awam. Bahkan sebagian pihak mengatakan bahwa karinding sudah punah karena sudah tidak ada yang memainkannya.
Iman Rahman Angga Kusumah alias Kimung (33), salah satu pendiri grup Karinding Attack, mengakui sebelum serius menekuni alat musik itu, dia pun beranggapan bahwa karinding sudah punah.
“Waktu saya mengerjakan skripsi tentang sejarah angklung sekitar 2003, sebagian buku yang saya riset mengatakan alat musik karinding sudah punah. Tapi sekitar 2005 ketika saya ke Ciwidey, ternyata masih ada orang yang memainkan karinding. Artinya alat musik ini masih eksis. Jadi saya pikir, karinding memang belum punah, meski sudah jarang yang memainkannya,” ujar Kimung ketika berbincang dengan INILAH.COM di kawasan Ujungberung, beberapa waktu lalu.
Lalu bagaimana hubungan antara penggemar musik cadas dengan karinding? Kimung menjelaskan, hal itu berawal sejak 2005. Saat itu, beberapa komunitas metal di Bandung mulai sadar akan lokalitas budaya sendiri, terutama seni tradisi Sunda. Apalagi saat itu perhelatan Bandung Death Fest tak hanya menampilkan grup musik beraliran keras, namun juga diselipkan penampilan kesenian tradisional.
Sejak saat itu, kata dia, hubungan antara komunitas metal dengan kelompok seni tradisi semakin intens. Menurutnya, berbagai alat musik tradisional mulai dipelajari untuk dikembangkan, salah satunya karinding.
"Akhir 2008 kita mulai belajar secara serius, berawal dari pertemuan tiap Jumat malam di Common Room. Di forum itu kita belajar dari mereka yang sudah lama menguasai alat musik ini, seperti Abah Olot. Hingga akhirnya awal 2009 terbentuk Karinding Attack,” ujar alumnus Sejarah Unpad itu.
Endang Sugriwa atau biasa dipanggil Abah Olot merupakan salah satu seniman dan perajin karinding yang disegani, bahkan hingga saat ini. Kimung mengatakan, semua alat musik yang digunakan Karinding Attack pun hasil kreativitas Abah Olot.
Bersama grupnya, dia berusaha untuk kembali mempopulerkan karinding kepada masyarakat. Mantan personel Burgerkill itu mengaku tidak percaya jika alat musik karinding akan segera punah. Agar tidak punah, kata dia, alat musik itu harus kembali dikenalkan kepada masyarakat, terutama generasi muda.
“Kita berusaha untuk melestarikan kesenian tradisional Sunda. Tapi tak sekadar melestarikan, kita juga bicara mengenai pengembangan alat musik ini,” jelas dia.
Hasilnya ternyata tidak sia-sia. Dia mengaku bangga karena banyak anak SMP dan SMA yang mulai menyukai seni tradisi Sunda, tak hanya karinding. Untuk grup karinding sendiri, dia mencatat lebih dari 100 kelompok yang sudah berdiri. Tak hanya di Bandung, tapi juga mulai menyebar di beberapa tempat di Jabar.
Menurut dia, hal itu merupakan perkembangan yang cukup baik bagi pelestarian budaya Sunda. “Tak hanya karinding, sekarang banyak anak muda yang tetap pakai baju pangsi atau iket. Tentu ini bagus,” katanya.
Dalam upaya mengembangkan karinding, dia mengatakan kolaborasi dengan genre musik lain menjadi sebuah keniscayaan. Menurut dia, kolaborasi sangat penting untuk semakin mengembangkan alat musik itu.
"Makanya karinding kita kolaborasikan dengan genre musik lain, seperti jazz, metal, juga pop. Seperti yang dilakukan seniman angklung dulu, mereka mengolaborasikan dengan musik lain sehingga bisa bertahan. Untuk karinding pun ternyata hasilnya bagus,” ujar dia.
Salah satu bentuk kolaborasinya, kata dia, saat ini dengan Peterpan. Dia menjelaskan, band yang digawangi vokalis Nazriel Ilham itu saat ini sedang menggarap album instrumental. Ariel menginginkan salah satu lagunya diisi dengan karinding. “Sekarang kita sedang garap beberapa lagu Peterpan dengan aransemen karinding. Hasilnya cukup bagus,” kata dia.
Tak hanya kolaborasi, dia mengatakan karinding pun terus mengalami perubahan. Jika awalnya hanya satu nada saja yang dihasilkan, kini sudah ada yang mencoba membuatnya menjadi beberapa nada. Seperti yang dilakukan oleh salah satu dosen STSI Bandung, Asep Nata.
Dijelaskan Kimung, Asep mencoba mengembangkan karinding toel yang mampu menghasilkan nada pentatonis maupun diatonis. Menurutnya, itu dilakukan agar alat musik ini semakin berkembang. “Kita pun berusaha mengembangkan karinding seperti yang dilakukan Pak Asep, sehingga suara yang dihasilkan tidak lagi monoton,” ucapnya. [jul]
Sore itu, para personel Karinding Attack sedang sibuk. Di sebuah studio di kawasan Ujungberung, menggunakan alat musik tradisional seperti karinding, mereka mengaransemen sebuah lagu milik Peterpan. Rencananya, lagu itu akan masuk ke dalam album instrumental Peterpan yang akan diluncurkan tahun depan.
Ya, alat musik karinding kembali populer, terutama di kalangan anak muda penggemar musik cadas. Entah bagaimana hubungannya, faktanya sebagian besar penggemar karinding adalah mereka yang biasa mendengarkan musik aliran metal atau punk tersebut. Tak hanya sebagai alat musik tradisional, karinding pun mulai dikolaborasikan dengan genre lain, mulai dari pop, jazz, hingga musik cadas.
Padahal, sekitar lima tahun lalu, alat musik yang terbuat dari bambu itu masih asing terdengar di masyarakat awam. Bahkan sebagian pihak mengatakan bahwa karinding sudah punah karena sudah tidak ada yang memainkannya.
Iman Rahman Angga Kusumah alias Kimung (33), salah satu pendiri grup Karinding Attack, mengakui sebelum serius menekuni alat musik itu, dia pun beranggapan bahwa karinding sudah punah.
“Waktu saya mengerjakan skripsi tentang sejarah angklung sekitar 2003, sebagian buku yang saya riset mengatakan alat musik karinding sudah punah. Tapi sekitar 2005 ketika saya ke Ciwidey, ternyata masih ada orang yang memainkan karinding. Artinya alat musik ini masih eksis. Jadi saya pikir, karinding memang belum punah, meski sudah jarang yang memainkannya,” ujar Kimung ketika berbincang dengan INILAH.COM di kawasan Ujungberung, beberapa waktu lalu.
Lalu bagaimana hubungan antara penggemar musik cadas dengan karinding? Kimung menjelaskan, hal itu berawal sejak 2005. Saat itu, beberapa komunitas metal di Bandung mulai sadar akan lokalitas budaya sendiri, terutama seni tradisi Sunda. Apalagi saat itu perhelatan Bandung Death Fest tak hanya menampilkan grup musik beraliran keras, namun juga diselipkan penampilan kesenian tradisional.
Sejak saat itu, kata dia, hubungan antara komunitas metal dengan kelompok seni tradisi semakin intens. Menurutnya, berbagai alat musik tradisional mulai dipelajari untuk dikembangkan, salah satunya karinding.
"Akhir 2008 kita mulai belajar secara serius, berawal dari pertemuan tiap Jumat malam di Common Room. Di forum itu kita belajar dari mereka yang sudah lama menguasai alat musik ini, seperti Abah Olot. Hingga akhirnya awal 2009 terbentuk Karinding Attack,” ujar alumnus Sejarah Unpad itu.
Endang Sugriwa atau biasa dipanggil Abah Olot merupakan salah satu seniman dan perajin karinding yang disegani, bahkan hingga saat ini. Kimung mengatakan, semua alat musik yang digunakan Karinding Attack pun hasil kreativitas Abah Olot.
Bersama grupnya, dia berusaha untuk kembali mempopulerkan karinding kepada masyarakat. Mantan personel Burgerkill itu mengaku tidak percaya jika alat musik karinding akan segera punah. Agar tidak punah, kata dia, alat musik itu harus kembali dikenalkan kepada masyarakat, terutama generasi muda.
“Kita berusaha untuk melestarikan kesenian tradisional Sunda. Tapi tak sekadar melestarikan, kita juga bicara mengenai pengembangan alat musik ini,” jelas dia.
Hasilnya ternyata tidak sia-sia. Dia mengaku bangga karena banyak anak SMP dan SMA yang mulai menyukai seni tradisi Sunda, tak hanya karinding. Untuk grup karinding sendiri, dia mencatat lebih dari 100 kelompok yang sudah berdiri. Tak hanya di Bandung, tapi juga mulai menyebar di beberapa tempat di Jabar.
Menurut dia, hal itu merupakan perkembangan yang cukup baik bagi pelestarian budaya Sunda. “Tak hanya karinding, sekarang banyak anak muda yang tetap pakai baju pangsi atau iket. Tentu ini bagus,” katanya.
Dalam upaya mengembangkan karinding, dia mengatakan kolaborasi dengan genre musik lain menjadi sebuah keniscayaan. Menurut dia, kolaborasi sangat penting untuk semakin mengembangkan alat musik itu.
"Makanya karinding kita kolaborasikan dengan genre musik lain, seperti jazz, metal, juga pop. Seperti yang dilakukan seniman angklung dulu, mereka mengolaborasikan dengan musik lain sehingga bisa bertahan. Untuk karinding pun ternyata hasilnya bagus,” ujar dia.
Salah satu bentuk kolaborasinya, kata dia, saat ini dengan Peterpan. Dia menjelaskan, band yang digawangi vokalis Nazriel Ilham itu saat ini sedang menggarap album instrumental. Ariel menginginkan salah satu lagunya diisi dengan karinding. “Sekarang kita sedang garap beberapa lagu Peterpan dengan aransemen karinding. Hasilnya cukup bagus,” kata dia.
Tak hanya kolaborasi, dia mengatakan karinding pun terus mengalami perubahan. Jika awalnya hanya satu nada saja yang dihasilkan, kini sudah ada yang mencoba membuatnya menjadi beberapa nada. Seperti yang dilakukan oleh salah satu dosen STSI Bandung, Asep Nata.
Dijelaskan Kimung, Asep mencoba mengembangkan karinding toel yang mampu menghasilkan nada pentatonis maupun diatonis. Menurutnya, itu dilakukan agar alat musik ini semakin berkembang. “Kita pun berusaha mengembangkan karinding seperti yang dilakukan Pak Asep, sehingga suara yang dihasilkan tidak lagi monoton,” ucapnya. [jul]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar