Dari masing-masing (instrument Karinding) bagian itu memiliki makna yakni, sabar dan sadar”
Minggu malam (19/12) Formagz mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang lewat media sosial Yahoo Messenger dengan salah satu pionir grup musik Karinding Attack, Kimung yang juga dikenal sebagai penulis buku ini. Belakangan ini Karat (Karinding Attack, red) sedang melakoni jadwal yang cukup padat maka tidak aneh kalau mereka hampir selalu mewarnai event-event besar di kota Bandung. Hmm,mungkin karena musik yang dikemas mereka berbeda dengan yang lain, dan satu lagi yang menyita perhatian kami yaitu hampir semua yang memainkan alat musik tradisional seperti Karinding, Celempung, Suling dan Toleat ini adalah mereka yang notebene pernah dan masih bermain di scene musik underground. Oke, daripada penasaran mari kita simak wawancara kami dengan Kimung berikut ini.
Formagz: Halo Kang Kimung. Apa kabar?
Kimung: Baik, Alhamdulillah sehat
Formagz : Lagi sibuk apa nih sekarang?
Kimung: Wah banyak. Hehe. Lagi siap-siap nerusin recording studio sama Karinding, nyiapin lagu-lagu buat album Karat berikutnya, dan ada niatan buat kolaborasi juga. Trus kalo menulis, saya lagi ngerampungin buku “Memoar Melawan Lupa 2008” buat mengenang 3 tahunnya tragedi berdarah konser Beside di gedung AACC, terus ngerampungin buku “Mencandu Pagi Bersama Pecandu Pagi”, untuk mengenang alm. Norvan Pecandu Pagi. Dan satu lagi ngerampungin buku “Panceg Dina Galur Ujung Berung Rebels”. Lalu bikin film dokumenter BurgerKill, judulnya “Journey Of a Heaviest Band On Earth”. Lalu saya lagi riset tentang sejarah Karinding. Dan saya juga mengajar Sejarah dan Geografi di SMP Cendikia Muda dan ngajar juga di Bandung Oral History. Oya, saya juga lagi nyiapin proyek band baru, Paperback namanya.
Formagz: Wah,sibuk banget. Ngga pusing ngatur jadwalnya tuh Kang?
Kimung: Well,saya punya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Kebangetan banget kalo ga bisa ngatur waktunya.
Formagz: Bisa dibilang Karinding Attack itu salah satu trigger grup musik Karinding di Bandung yang kelihatannya sukses merangkul anak muda untuk tidak malu bermain alat musik tradisional. Gimana tanggapannya nih, Kang?
Kimung: Seneng yah liat anak-anak muda bersemangat banget respon alat musik Karinding. Itu juga jadi peer buat saya pribadi dan juga Karat. Utamanya sih ngebangun kesadaran sejarahnya.
Formagz: Darimana sih pertama kali tercetusnya ide buat grup musik Karinding? Dan kapan terbentuknya Karinding Attack? bisa diceritain ga?
Kimung: Sejak Oktober 2008, Awalnya dari sayap kerja Ujung Berung Rebels, namanya Bandoong Sindekeit, sebuah kelompok bisnis rokok Morbid Nixcotine. Saat itu ada saya, Ki Amenk, Wisnu Jawis, Ari Bleeding Corpse,dll. Awalnya sih kita kenal Karinding dari Mang Utun dan Mang Engkus. Jadi mereka lebih dulu main Karinding daripada kita. Lalu dari luar Bandung Sindekeit ada Man Jasad.
Formagz: Kalo diliat dari latar belakang para personilnya, mayoritas pernah dan masih bermain musik beraliran keras kan? Apa sebenarnya tujuan Kang Kimung dan kawan-kawan yang notabene suka aliran keras lalu ada niatan buat grup musik Karinding?
Kimung: Secara pribadi, saya merasa nyaman maen instrument ini, bawa tenang dan asik dimainkan dan juga alatnya yang kecil, jadi simple untuk dibawa-bawa. Ini juga bagus buat kesehatan karena kita jadi terjaga napasnya. Ga ada niat apa-apa kalo secara pribadi selain memaksimalkan si “simpel” ini jadi musik yang edan! Kalo untuk Karat, Saya kira mereka berangkat dari motivasi yang lebih mulia, yaitu pengen melestarikan dan mengembangkan kesenian ini. Tapi saya pribadi ngga semulia itu, saya. Intinya, saya cuma pengen bikin musik yang bagus, Karena movement dari kesenian sebenarnya ada di karyanya. Kalo karya kita pasti bagus pasti bisa memotivasi orang, kalo jelek ya mati sajah. Hahahaha
Formagz: Lirik-liriknya Karat sendiri terinspirasi dari mana?
Kimung: Lirik kebetulan saya yang nulis semua, kecuali lagu Kawih Pati dan Hampura Emak 2, itu Man yang nulis. Lirik-lirik dari saya sendiri terinspirasi dari keseharian dan perkataan-perkataan/ungkapan-ungkapan keseharian orang tua ketika saya masih kecil. Temanya lebih ke kritik sosial dan keseharian aja. Kalo Kawih Pati dan Hampura Emak 2 terinspirasi dari keadaan alam yang semakin buruk.
Formagz: Oiya,kenapa ada lagu Hampura Emak 2?
Kimung: Dulu Oktober 2008 kita sempet ngerekam Hampura Emak 1 dan itu yang jadi trigger band-band Karinding lain buat show up. Tapi sayang salah satu instrumennya Toleat, hancur keinjek. Padahal Toleat itu yang bawa nuansa lagu Hampura Emak 1. Kita udah usaha cari Toleat lain, tapi ga ada kualitasnya yang sama dengan Toleat yang udah hancur itu. Jadi aja bikin Hampura Emak 2 yang beda sama Hampura Emak 1. Itu juga buat kepentingan kawan, yang bikinin kita video klip. Kawan kita itu namanya Jaka. Dan dia sekarang jadi kru Dokumentasi Karat.
Formagz: Tapi kalo show masih suka bawain hampura emak 1 kan?
Kimung: Sekarang udah mulai dibawain lagi karena udah nemu toleat yang bisa mainin Hampura Emak 1.
Formagz: Cara apa lagi sih yang udah dilakuin Kang Kimung dan kawan-kawan untuk memperkenalkan Karinding ke khalayak umum selain promosi lagu dan manggung?
Kimung: Ada workshop-workshop, diskusi, bikin merchandising dan banyak kolaborasi dengan ranah seni lain kaya rupa, teater, dll. Dan juga bikin Kelas Karinding (Kekar) tiap hari Selasa dan Jumat di Common Room. Dan juga penulisan sejarah yang sekarang lagi di buat. Agar kita punya dasar yang kuat dalam memahami sebuah instrument apa lagi ini instrument tradisional. Dengan adanya legitimasi sejarah orang lain juga ga akan sembarangan nyatut instrument ini sebagai milik mereka.
Formagz: Ada makna filosofis tersendiri ga buat Karinding?
Kimung: Karinding memiliki tiga bagian yaitu pancepengan, cecet ucing, dan paneunggeulan. Dan dari masing-masing bagian itu memiliki makna yakni, sabar dan sadar. Untuk lebih jelasnya, saya sudah menulis lebih detail mengenai makna filosofis dari karinding. Kalian bisa kunjungi www.jurnalkarat.wordpress.com
Formagz: Bagaimana eksistensi budaya sunda kekinian di mata Kang Kimung?
Kimung: Saya kira Karinding sekarang jadi tren baru yah di anak muda, terutama di kalangan anak-anak metal dan punk. Dan ternyata bukan cuma Karinding, ini juga merambah ke simbol-simbol Sunda kaya iket, pangsi, kujang, dll. Saya kira semakin bergairah, dan semakin asik. Cuma saya menyayangkan, di beberapa kalangan, ini msih tetap jadi konsumsi politis dan sosiologis belaka.
Formagz: Maksudnya Kang?
Kimung: Dengan semakin bergairahnya Sunda kekinian, banyak orang yang melirik, termasuk para politisi yg bertarung di pemilihan umum apapun, mereka ga berkepentingan apa-apa selain mengkomodifikasi fenomena ini menjadi bentuk dukungan buat mereka. Kalo sosiologis, alat-alat ini masih tetap dijadikan sebagai alat yg seremonial sifatnya padahal ini kan sebetulnya kesenian rakyat, bukan kesenian seremoni buat nyambut pejabat atau apapun. Intinya, fungsinya belum kembali secara benar.
Formagz: Terakhir nih Kang, Pesan-pesan buat ForFriend?
Kimung: Dokumentasikan hidup kalian, sekarang alat dokumentasi sudah semakin banyak, mudah, dan murah, bentuk dokumentasi bisa nulis, bisa motret, bisa bikin film, musik, dll. Usahakan dokumentasi itu bisa diakses publik secara gratis. Dengan demikian hidup semua orang akan paralel dan kita hidup di satu tatanan dunia yang setara.
Well, dari bincang-bincang kami dengan Kimung pastinya ForFriend banyak menemukan istilah-istilah dan pengetahuan baru yang bikin kamu terangsang untuk cari tau lebih banyak lagi tentang alat musik Karinding yang sudah diperkenalkan oleh Kimung dan kawan-kawannya di Karat. Nuhun nya, Kang!!
Minggu malam (19/12) Formagz mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang lewat media sosial Yahoo Messenger dengan salah satu pionir grup musik Karinding Attack, Kimung yang juga dikenal sebagai penulis buku ini. Belakangan ini Karat (Karinding Attack, red) sedang melakoni jadwal yang cukup padat maka tidak aneh kalau mereka hampir selalu mewarnai event-event besar di kota Bandung. Hmm,mungkin karena musik yang dikemas mereka berbeda dengan yang lain, dan satu lagi yang menyita perhatian kami yaitu hampir semua yang memainkan alat musik tradisional seperti Karinding, Celempung, Suling dan Toleat ini adalah mereka yang notebene pernah dan masih bermain di scene musik underground. Oke, daripada penasaran mari kita simak wawancara kami dengan Kimung berikut ini.
Formagz: Halo Kang Kimung. Apa kabar?
Kimung: Baik, Alhamdulillah sehat
Formagz : Lagi sibuk apa nih sekarang?
Kimung: Wah banyak. Hehe. Lagi siap-siap nerusin recording studio sama Karinding, nyiapin lagu-lagu buat album Karat berikutnya, dan ada niatan buat kolaborasi juga. Trus kalo menulis, saya lagi ngerampungin buku “Memoar Melawan Lupa 2008” buat mengenang 3 tahunnya tragedi berdarah konser Beside di gedung AACC, terus ngerampungin buku “Mencandu Pagi Bersama Pecandu Pagi”, untuk mengenang alm. Norvan Pecandu Pagi. Dan satu lagi ngerampungin buku “Panceg Dina Galur Ujung Berung Rebels”. Lalu bikin film dokumenter BurgerKill, judulnya “Journey Of a Heaviest Band On Earth”. Lalu saya lagi riset tentang sejarah Karinding. Dan saya juga mengajar Sejarah dan Geografi di SMP Cendikia Muda dan ngajar juga di Bandung Oral History. Oya, saya juga lagi nyiapin proyek band baru, Paperback namanya.
Formagz: Wah,sibuk banget. Ngga pusing ngatur jadwalnya tuh Kang?
Kimung: Well,saya punya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Kebangetan banget kalo ga bisa ngatur waktunya.
Formagz: Bisa dibilang Karinding Attack itu salah satu trigger grup musik Karinding di Bandung yang kelihatannya sukses merangkul anak muda untuk tidak malu bermain alat musik tradisional. Gimana tanggapannya nih, Kang?
Kimung: Seneng yah liat anak-anak muda bersemangat banget respon alat musik Karinding. Itu juga jadi peer buat saya pribadi dan juga Karat. Utamanya sih ngebangun kesadaran sejarahnya.
Formagz: Darimana sih pertama kali tercetusnya ide buat grup musik Karinding? Dan kapan terbentuknya Karinding Attack? bisa diceritain ga?
Kimung: Sejak Oktober 2008, Awalnya dari sayap kerja Ujung Berung Rebels, namanya Bandoong Sindekeit, sebuah kelompok bisnis rokok Morbid Nixcotine. Saat itu ada saya, Ki Amenk, Wisnu Jawis, Ari Bleeding Corpse,dll. Awalnya sih kita kenal Karinding dari Mang Utun dan Mang Engkus. Jadi mereka lebih dulu main Karinding daripada kita. Lalu dari luar Bandung Sindekeit ada Man Jasad.
Formagz: Kalo diliat dari latar belakang para personilnya, mayoritas pernah dan masih bermain musik beraliran keras kan? Apa sebenarnya tujuan Kang Kimung dan kawan-kawan yang notabene suka aliran keras lalu ada niatan buat grup musik Karinding?
Kimung: Secara pribadi, saya merasa nyaman maen instrument ini, bawa tenang dan asik dimainkan dan juga alatnya yang kecil, jadi simple untuk dibawa-bawa. Ini juga bagus buat kesehatan karena kita jadi terjaga napasnya. Ga ada niat apa-apa kalo secara pribadi selain memaksimalkan si “simpel” ini jadi musik yang edan! Kalo untuk Karat, Saya kira mereka berangkat dari motivasi yang lebih mulia, yaitu pengen melestarikan dan mengembangkan kesenian ini. Tapi saya pribadi ngga semulia itu, saya. Intinya, saya cuma pengen bikin musik yang bagus, Karena movement dari kesenian sebenarnya ada di karyanya. Kalo karya kita pasti bagus pasti bisa memotivasi orang, kalo jelek ya mati sajah. Hahahaha
Formagz: Lirik-liriknya Karat sendiri terinspirasi dari mana?
Kimung: Lirik kebetulan saya yang nulis semua, kecuali lagu Kawih Pati dan Hampura Emak 2, itu Man yang nulis. Lirik-lirik dari saya sendiri terinspirasi dari keseharian dan perkataan-perkataan/ungkapan-ungkapan keseharian orang tua ketika saya masih kecil. Temanya lebih ke kritik sosial dan keseharian aja. Kalo Kawih Pati dan Hampura Emak 2 terinspirasi dari keadaan alam yang semakin buruk.
Formagz: Oiya,kenapa ada lagu Hampura Emak 2?
Kimung: Dulu Oktober 2008 kita sempet ngerekam Hampura Emak 1 dan itu yang jadi trigger band-band Karinding lain buat show up. Tapi sayang salah satu instrumennya Toleat, hancur keinjek. Padahal Toleat itu yang bawa nuansa lagu Hampura Emak 1. Kita udah usaha cari Toleat lain, tapi ga ada kualitasnya yang sama dengan Toleat yang udah hancur itu. Jadi aja bikin Hampura Emak 2 yang beda sama Hampura Emak 1. Itu juga buat kepentingan kawan, yang bikinin kita video klip. Kawan kita itu namanya Jaka. Dan dia sekarang jadi kru Dokumentasi Karat.
Formagz: Tapi kalo show masih suka bawain hampura emak 1 kan?
Kimung: Sekarang udah mulai dibawain lagi karena udah nemu toleat yang bisa mainin Hampura Emak 1.
Formagz: Cara apa lagi sih yang udah dilakuin Kang Kimung dan kawan-kawan untuk memperkenalkan Karinding ke khalayak umum selain promosi lagu dan manggung?
Kimung: Ada workshop-workshop, diskusi, bikin merchandising dan banyak kolaborasi dengan ranah seni lain kaya rupa, teater, dll. Dan juga bikin Kelas Karinding (Kekar) tiap hari Selasa dan Jumat di Common Room. Dan juga penulisan sejarah yang sekarang lagi di buat. Agar kita punya dasar yang kuat dalam memahami sebuah instrument apa lagi ini instrument tradisional. Dengan adanya legitimasi sejarah orang lain juga ga akan sembarangan nyatut instrument ini sebagai milik mereka.
Formagz: Ada makna filosofis tersendiri ga buat Karinding?
Kimung: Karinding memiliki tiga bagian yaitu pancepengan, cecet ucing, dan paneunggeulan. Dan dari masing-masing bagian itu memiliki makna yakni, sabar dan sadar. Untuk lebih jelasnya, saya sudah menulis lebih detail mengenai makna filosofis dari karinding. Kalian bisa kunjungi www.jurnalkarat.wordpress.com
Formagz: Bagaimana eksistensi budaya sunda kekinian di mata Kang Kimung?
Kimung: Saya kira Karinding sekarang jadi tren baru yah di anak muda, terutama di kalangan anak-anak metal dan punk. Dan ternyata bukan cuma Karinding, ini juga merambah ke simbol-simbol Sunda kaya iket, pangsi, kujang, dll. Saya kira semakin bergairah, dan semakin asik. Cuma saya menyayangkan, di beberapa kalangan, ini msih tetap jadi konsumsi politis dan sosiologis belaka.
Formagz: Maksudnya Kang?
Kimung: Dengan semakin bergairahnya Sunda kekinian, banyak orang yang melirik, termasuk para politisi yg bertarung di pemilihan umum apapun, mereka ga berkepentingan apa-apa selain mengkomodifikasi fenomena ini menjadi bentuk dukungan buat mereka. Kalo sosiologis, alat-alat ini masih tetap dijadikan sebagai alat yg seremonial sifatnya padahal ini kan sebetulnya kesenian rakyat, bukan kesenian seremoni buat nyambut pejabat atau apapun. Intinya, fungsinya belum kembali secara benar.
Formagz: Terakhir nih Kang, Pesan-pesan buat ForFriend?
Kimung: Dokumentasikan hidup kalian, sekarang alat dokumentasi sudah semakin banyak, mudah, dan murah, bentuk dokumentasi bisa nulis, bisa motret, bisa bikin film, musik, dll. Usahakan dokumentasi itu bisa diakses publik secara gratis. Dengan demikian hidup semua orang akan paralel dan kita hidup di satu tatanan dunia yang setara.
Well, dari bincang-bincang kami dengan Kimung pastinya ForFriend banyak menemukan istilah-istilah dan pengetahuan baru yang bikin kamu terangsang untuk cari tau lebih banyak lagi tentang alat musik Karinding yang sudah diperkenalkan oleh Kimung dan kawan-kawannya di Karat. Nuhun nya, Kang!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar