Jumat, 15 Februari 2013

Karinding

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Karinding Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa Langsung ke: navigasi, cari Karinding merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya), Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas. Cara Memainkan Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun). Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.. Fungsinya Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya. Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.
Langsung ke: navigasi, cari
Karinding merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya), Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.

Cara Memainkan

Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun).
Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan..

Fungsinya

Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.
Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik.

Aliran dan perguruan di Indonesia

Terdapat beraneka ragam aliran pencak silat yang berkembang di Indonesia selama berabad-abad, dan tiap aliran ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak perguruan. Beberapa tradisi atau aliran utama yang tertua dan termahsyur antara lain Silek Tuo Minangkabau dari Sumatera Barat, Maenpo Cimande dan Cikalong dari Jawa Barat, serta beberapa aliran pencak silat tua di Jawa Tengah dan Bali. Perguruan dan padepokan pencak silat yang berkembang kemudian mungkin saja dipengaruhi beberapa aliran tradisi pencak silat tua ini, serta memadukannya dengan disiplin dan teknik laga beladiri lain. Berikut ini adalah beberapa aliran dan perguruan pencak silat:
  • Silek Harimau Minangkabau — adalah aliran silek (silat Minangkabau), seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki budaya merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Disamping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar.[12]
  • Cimande — adalah aliran maenpo (pencak silat Sunda) di daerah Tari Kolot, Cimande, Bogor, Jawa Barat. Cimande adalah sebuah aliran pencak silat yang tergolong tua, besar, terkenal dan memiliki pengaruh pada aliran lainnya di pulau Jawa.[13] Cimande memiliki lima aspek yaitu aspek olahraga, seni budaya/tradisi, beladiri, spiritual dan pengobatan. Aspek terakhir yaitu pengobatan termasuk pijat/ atau urut gaya Cimande dan pengobatan patah tulang.
  • Merpati Putih — merupakan pencak silat yang berkembang dari tradisi Jawa sejak tahun 1550. Sang Guru Merpati Putih adalah Bapak Saring Hadi Poernomo, sedangkan pendiri Perguruan dan Guru Besar sekaligus pewaris ilmu adalah Purwoto Hadi Purnomo (Mas Poeng) dan Budi Santoso Hadi Purnomo (Mas Budi) sebagai Guru Besar terakhir yaitu generasi ke sebelas. Didirikan pada tanggal 2 April 1963 di Yogyakarta, mempunyai kurang lebih 85 cabang dalam negeri dan 4 cabang luar negeri dengan jumlah kelompok latihan sebanyak 415 buah (1993) yang tersebar di seluruh Nusantara dan saat ini mempunyai anggota sebanyak kurang lebih dua setengah juta orang lulusan serta yang masih aktif sekitar 100 ribu orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Pencak silat Merpati Putih dikenal dengan Beladiri Tangan Kosong (Betako).
  • Bakti Negara — adalah aliran dan perguruan pencak silat Bali yang berpedoman pada ajaran Hindu Dharma masyarakat Bali Tri Hita Karana. Bakti Negara dibentuk pada 31 Januari 1955 di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, Bali oleh empat pendekar mantan pejuang kemerdekaan Indonesia: pendekar Anak Agung Rai Tokir, I Bagus Made Rai Keplag, Anak Agung Meranggi, Sri Empu Dwi Tantra, dan Ida Bagus Oka Dewangkara.[14]
  • Perguruan Silat Nasional Asad (Persinas ASAD) — berdiri pada tanggal 30 April 1993 berpusat di Jakarta, telah berkembang pesat dan banyak menjuarai perlombaan baik provinsi, nasional, bahkan internasional. Prestasi Dunia Persinas Asad yang mewakili Indonesia meraih prestasi membanggakan di Festival Beladiri Dunia Chungju World Martial Arts Festival di Chungju Korea Selatan.
  • Himpunan Anggota Silat Dasar Indonesia (HASDI) — didirikan oleh Bapak RS. Hasdijatmiko pada tahun 1961, yang berpusat di Jember Jawa Timur, merupakan perguruan silat yang mengembangkan tekhnik gerak silat cepat dan lugas.
  • Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT)[15] — didirikan oleh Ki Hajar Harjo Utomo di Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Madiun pada tahun 1922, merupakan perguruan silat yang mengajarkan kesetiaan pada hati sanubari sendiri yang bersandarkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Perguruan ini mengutamakan persaudaraan dan berbentuk sebuah organisasi.
  • Silat Perisai Diri[16] — teknik silat Indonesia yang diciptakan oleh Pak Dirdjo (mendapat penghargaan pemerintah sebagai Pendekar Purna Utama) yang pernah mempelajari lebih dari 150 aliran silat nusantara dan mempelajari aliran kungfu siauw liem sie (shaolin) selama 13 tahun. Teknik praktis dan efektif berdasar pada elakan yang sulit ditangkap dan serangan perlawanan kekuatan maksimum. Saat ini merupakan silat yang paling dikenal dan banyak anggotanya di Australia, Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.
  • Silat Riksa Budi Kiwari — Perguruan ini didirikan oleh Pak Ujang Jayadiman pada tahun 1982 di Bandung. Meskipun usia perguruan ini tergolong masih muda,namun telah mencetak banyak atlet-atlet berprestasi baik di tingkat Nasional maupun Internasional.
  • Silat Tunggal Hati Seminari- Tunggal Hati Maria —organisasi pencak silat bernafaskan agama Katolik, didirikan oleh 7 dewan pendiri, termasuk Rm. Hadi,Pr. dan Rm. Sandharma Akbar,Pr.
  • Pencak Silat Siwah — aliran silat asli yang berasal dari daerah Aceh yang memadukan empat aliran asli Aceh yaitu dari Peureulak dan Aceh Besar (Keudee Bing - Lhok Nga)

Referensi

  • Sheikh Shamsuddin (2005). The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong. North Atlantic Books. ISBN 1-55643-562-2.aulast=Sheikh+Shamsuddin&rft.au=Sheikh+Shamsuddin&rft.date=2005&rft.pub=North+Atlantic+Books&rfr_id=info:sid/en.wikipedia.org:Pencak_silat">
  • Quintin Chambers and Donn F. Draeger (1979). Javanese Silat: The Fighting Art of Perisai Diri. ISBN 0-87011-353-4.
  • Donn F. Draeger (1992). Weapons and fighting arts of Indonesia. Rutland, Vt. : Charles E. Tuttle Co. ISBN 978-0-8048-1716-5.

Catatan kaki

  1. ^ a b c d South Australia. Education Dept, Northern Territory. Dept. of Education, "Suara Siswa", Curriculum Corporation, 1993, 1863661344, 9781863661348.
  2. ^ a b c M Muhyi Faruq, "Meningkatkan kebugaran jasmani melalui permainan dan olahraga pencak silat", Grasindo, 2009, 9790253664, 9789790253667.
  3. ^ Donn F. Draeger (1992). Weapons and fighting arts of Indonesia. Rutland, Vt. : Charles E. Tuttle Co.. ISBN 9780804817165.
  4. ^ a b c d e Moh.Gilang, dkk, "Penjasorkes SMA kls 12", Ganeca Exact, 9795712578, 9789795712572.
  5. ^ a b Lihat Shamsuddin (2005), hlm 7.
  6. ^ a b c d e f g h Asep Kurnia Nenggala, "Pendidikan Jasmani dan Kesehatan", PT Grafindo Media Pratama, 979758349X, 9789797583491.
  7. ^ Silek Minangkabau Etalase Ribuan Filosofi Koran.Republika.com
  8. ^ Kompasiana: Pencak Silat dan Jati Diri Bangsa
  9. ^ a b Lihat Shamsuddin (2005).
  10. ^ Lihat Chambers dan Draeger (1979).
  11. ^ Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI)
  12. ^ Silek Harimau Minangkabau
  13. ^ Cimande, Riwayatmu Kini
  14. ^ Bakti Negara
  15. ^ Situs Resmi Persaudaraan Setia Hati Terate
  16. ^ Perisai Diri Cabang Bandung

Sejarah

Bela diri yang berkembang di Nusantara didasarkan pada upaya pertahanan suku menghadapi musuh, seperti tari perang Nias.
http://m.pikiran-rakyat.com/ffarm/www/imagecache/310x210/2011/03/11/Pencaksilat1.jpgNenek moyang bangsa Indonesia telah memiliki cara pembelaan diri yang ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupannya atau kelompoknya dari tantangan alam.[4] Mereka menciptakan bela diri dengan menirukan gerakan binatang yang ada di alam sekitarnya, seperti gerakan kera, harimau, ular, atau burung elang.[4] Asal mula ilmu bela diri di nusantara ini kemungkinan juga berkembang dari keterampilan suku-suku asli Indonesia dalam berburu dan berperang dengan menggunakan parang, perisai, dan tombak, misalnya seperti dalam tradisi suku Nias yang hingga abad ke-20 relatif tidak tersentuh pengaruh luar.
Silat diperkirakan menyebar di kepulauan nusantara semenjak abad ke-7 masehi, akan tetapi asal mulanya belum dapat ditentukan secara pasti. Kerajaan-kerajaan besar, seperti Sriwijaya dan Majapahit disebutkan memiliki pendekar-pendekar besar yang menguasai ilmu bela diri dan dapat menghimpun prajurit-prajurit yang kemahirannya dalam pembelaan diri dapat diandalkan.[4] Peneliti silat Donald F. Draeger berpendapat bahwa bukti adanya seni bela diri bisa dilihat dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa klasik (Hindu-Budha) serta pada pahatan relief-relief yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda silat di candi Prambanan dan Borobudur. Dalam bukunya, Draeger menuliskan bahwa senjata dan seni beladiri silat adalah tak terpisahkan, bukan hanya dalam olah tubuh saja, melainkan juga pada hubungan spiritual yang terkait erat dengan kebudayaan Indonesia. Sementara itu Sheikh Shamsuddin (2005)[5] berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu bela diri dari Cina dan India dalam silat. Hal ini karena sejak awal kebudayaan Melayu telah mendapat pengaruh dari kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Cina, dan mancanegara lainnya.
Pencak silat telah dikenal oleh sebagian besar masyarakat rumpun Melayu dalam berbagai nama.[6] Di semenanjung Malaysia dan Singapura, silat lebih dikenal dengan nama alirannya yaitu gayong dan cekak.[6] Di Thailand, pencak silat dikenal dengan nama bersilat, dan di Filipina selatan dikenal dengan nama pasilat.[6] Dari namanya, dapat diketahui bahwa istilah "silat" paling banyak menyebar luas, sehingga diduga bahwa bela diri ini menyebar dari Sumatera ke berbagai kawasan di rantau Asia Tenggara.[6]

Tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke murid, sehingga catatan tertulis mengenai asal mula silat sulit ditemukan. Sejarah silat dikisahkan melalui legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain. Legenda Minangkabau, silat (bahasa Minangkabau: silek) diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah Datar di kaki Gunung Marapi pada abad ke-11.[7] Kemudian silek dibawa dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia Tenggara. Demikian pula cerita rakyat mengenai asal mula silat aliran Cimande, yang mengisahkan seorang perempuan yang mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dan monyet. Setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan (pendekar) yang dibanggakan, misalnya Prabu Siliwangi sebagai tokoh pencak silat Sunda Pajajaran,[8] Hang Tuah panglima Malaka,[9] Gajah Mada mahapatih Majapahit[rujukan?] dan Si Pitung dari Betawi.[rujukan?]
Perkembangan silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum penyebar agama Islam pada abad ke-14 di nusantara. Kala itu pencak silat diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau atau pesantren. Silat menjadi bagian dari latihan spiritual. [5] Dalam budaya beberapa suku bangsa di Indonesia, pencak silat merupakan bagian tak terpisahkan dalam upacara adatnya. Misalnya kesenian tari Randai yang tak lain adalah gerakan silek Minangkabau kerap ditampilkan dalam berbagai perhelatan dan acara adat Minangkabau. Dalam prosesi pernikahan adat Betawi terdapat tradisi "palang pintu", yaitu peragaan silat Betawi yang dikemas dalam sebuah sandiwara kecil. Acara ini biasanya digelar sebelum akad nikah, yaitu sebuah drama kecil yang menceritakan rombongan pengantin pria dalam perjalanannya menuju rumah pengantin wanita dihadang oleh jawara (pendekar) kampung setempat yang dikisahkan juga menaruh hati kepada pengantin wanita. Maka terjadilah pertarungan silat di tengah jalan antara jawara-jawara penghadang dengan pendekar-pendekar pengiring pengantin pria yang tentu saja dimenangkan oleh para pengawal pengantin pria.
Silat lalu berkembang dari ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah asing.[9] Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda, tercatat para pendekar yang mengangkat senjata, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta para pendekar wanita, seperti Sabai Nan Aluih, Cut Nyak Dhien, dan Cut Nyak Meutia.[4]
Silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku Melayu dalam pengertian yang luas,[10] yaitu para penduduk daerah pesisir pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, serta berbagai kelompok etnik lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa Melayu di berbagai daerah di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain-lainnya yang juga mengembangkan beladiri ini.
Menyadari pentingnya mengembangkan peranan pencak silat maka dirasa perlu adanya organisasi pencak silat yang bersifat nasional, yang dapat pula mengikat aliran-aliran pencak silat di seluruh Indonesia. Pada tanggal 18 Mei 1948, terbentuklah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)[4] Kini IPSI tercatat sebagai organisasi silat nasional tertua di dunia.
Pada 11 Maret 1980, Persatuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) didirikan atas prakarsa Eddie M. Nalapraya (Indonesia), yang saat itu menjabat ketua IPSI.[6] Acara tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.[6] Keempat negara itu termasuk Indonesia, ditetapkan sebagai pendiri Persilat.[6]
Beberapa organisasi silat nasional antara lain adalah Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) di Indonesia, Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia (PESAKA) di Malaysia, Persekutuan Silat Singapore (PERSIS) di Singapura, dan Persekutuan Silat Brunei Darussalam (PERSIB) di Brunei. Telah tumbuh pula puluhan perguruan-perguruan silat di Amerika Serikat dan Eropa. Silat kini telah secara resmi masuk sebagai cabang olah raga dalam pertandingan internasional, khususnya dipertandingkan dalam S

Musik di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Musik dari Indonesia
Traditional indonesian instruments04.jpg
Gong dari Jawa
Garis waktuContoh
Ragam
Klasik • Kecak • Kecapi suling • Tembang Sunda • Pop • Dangdut • Hip hop • Keroncong • Gambang keromong • Gambus • Jaipongan • Langgam Jawa • Pop Batak • Pop Minang • Pop Sunda • Qasidah modern • Rock • Tapanuli ogong • Tembang Jawa
Bentuk tertentu
Angklung • Beleganjur • Calung • Gamelan • Degung • Gambang • Gong gede • Gong kebyar • Jegog • Joged bumbung • Salendro • Selunding • Semar pegulingan
Musik daerah
Bali • Kalimantan • Jawa • Kepulauan Maluku • Papua • Sulawesi • Sumatera • Sunda
Musik di Indonesia sangat beragam, hal ini dikarenakan suku-suku di Indonesia yang bermacam-macam, sehingga boleh dikatakan seluruh 17.508 pulaunya memiliki budaya dan seninya sendiri.[1] Indonesia memiliki ribuan jenis musik, kadang-kadang diikuti dengan tarian dan pentas. Musik tradisional yang paling banyak digemari adalah gamelan dan keroncong, sementara musik modern adalah pop dan dangdut.

Daftar isi

Instrumen musik

Identitas musik Indonesia mulai terbentuk ketika budaya Zaman Perunggu bermigrasi ke Nusantara pada abad ketiga dan kedua Sebelum Masehi. Musik-musik suku tradisional Indonesia umumnya menggunakan instrumen perkusi, terutama gendang dan gong. Beberapa berkembang menjadi musik yang rumit dan berbeda-beda, seperti alat musik petik sasando dari Pulau Rote, angklung dari Jawa Barat, dan musik orkestra gamelan yang kompleks dari Jawa dan Bali

Gamelan

Seorang pemain Gamelan.
Salah satu bentuk musik yang paling dikenal adalah gamelan, musik ini dimainkan oleh beberapa orang bersama alat musik perkusi, seperti metalofon, gong dan rebab bersama dengan suling bambu. Pertunjukan seperti ini umum di negara seperti Indonesia dan Malaysia, namun gamelan berasal dari pulau Jawa, Bali dan Lombok.

Kecapi suling

Kecapi suling adalah sejenis musik instrumental yang bergantung pada improvisasi dan populer di provinsi Jawa Barat yang menggunakan dua alat musik, kecapi dan suling. Kecapi suling masih berhubungan dengan tembang Sunda.

Angklung

Angklung adalah alat musikyang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Angklung terbuat dari tabung bambu yang terhubung dengan rangka bambu. Angklung dimainkan dengan cara digoyangkan sehingga menghasilkan bunyi dalam susunan nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.

Kolintang

Kolintang (atau kulintang) adalah alat musik perkusi yang terbuat dari kayu dan perunggu asal Indonesia bagian timur dan Filipina. Di Indonesia kolintang dihubungkan dengan orang Minahasa dari Sulawesi Utara, namun kolintang juga terkenal di Maluku dan Timor.

Sasando

Sasando adalah alat musik petik yang berasal dari Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur. Bagian utama sasando adalah tabung dari bambu dan ganjalan-ganjalan dimana senar direntangkan. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas.

Aliran

Aliran musik Indonesia yang beragam menghasilkan kreativitas musikal bagi orang Indonesia, dan juga pengaruh musik luar dari pertemuan dengan budaya musik luar yang masuk ke Nusantara. Selain bentuk-bentuk musik asli Indonesia, beberapa aliran dapat ditelusuri asalnya dari pengaruh luar; seperti gambus dan qasidah dari musik Islam Timur Tengah, keroncong dari pengaruh Portugis, dan dangdut yang dipengaruhi musik Hindi.

Keroncong

Keroncong terbentuk sejak orang-orang Portugis memasuki Indonesia, yang juga membawa alat musik Eropa. Pada permulaan 1900-an, musik ini dianggap sebagai musik berkualitas rendah. Hal ini berubah pada 1930-an, ketika perfilman Indonesia mulai bergabung dengan musik keroncong, dan mulai berjaya pada dekade berikutnya, ketika musik ini terhubung dengan perjuangaan kemerdekaan.
Salah satu lagu keroncong paling terkenal adalah Bengawan Solo, yang ditulis pada tahun 1940 oleh Gesang Martohartono, seorang pemusik dari Solo. Lagu ini ditulis ketika Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menguasai pulau Jawa pada Perang Dunia II, lagu tersebut (tentang sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang dan terpenting di Jawa) menjadi populer di kalangan orang Jawa, dan terkenal di seluruh Indonesia ketika mulai didengarkan di radio. Lagu ini juga populer di kalangan tentara Jepang, sehingga ketika mereka kembali ke Jepang setelah perang, banyak penyanyi Jepang menyanyikan lagu tersebut dan membuatnya sebagai best-seller.

Alat Musik Tradisional Karinding Tak Lagi Asing

Alat Musik Tradisional Karinding Tak Lagi Asing
Oleh: Hanhan Husna
Minggu, 18 Desember 2011, 11:37 WIB
INILAH.COM, Bandung - Alat musik karinding kembali populer khususnya di Jabar. Padahal, sebelumnya alat musik tradisional ini disebut-sebut sudah punah.

Sore itu, para personel Karinding Attack sedang sibuk. Di sebuah studio di kawasan Ujungberung, menggunakan alat musik tradisional seperti karinding, mereka mengaransemen sebuah lagu milik Peterpan. Rencananya, lagu itu akan masuk ke dalam album instrumental Peterpan yang akan diluncurkan tahun depan.

Ya, alat musik karinding kembali populer, terutama di kalangan anak muda penggemar musik cadas. Entah bagaimana hubungannya, faktanya sebagian besar penggemar karinding adalah mereka yang biasa mendengarkan musik aliran metal atau punk tersebut. Tak hanya sebagai alat musik tradisional, karinding pun mulai dikolaborasikan dengan genre lain, mulai dari pop, jazz, hingga musik cadas.

Padahal, sekitar lima tahun lalu, alat musik yang terbuat dari bambu itu masih asing terdengar di masyarakat awam. Bahkan sebagian pihak mengatakan bahwa karinding sudah punah karena sudah tidak ada yang memainkannya.

Iman Rahman Angga Kusumah alias Kimung (33), salah satu pendiri grup Karinding Attack, mengakui sebelum serius menekuni alat musik itu, dia pun beranggapan bahwa karinding sudah punah.
“Waktu saya mengerjakan skripsi tentang sejarah angklung sekitar 2003, sebagian buku yang saya riset mengatakan alat musik karinding sudah punah. Tapi sekitar 2005 ketika saya ke Ciwidey, ternyata masih ada orang yang memainkan karinding. Artinya alat musik ini masih eksis. Jadi saya pikir, karinding memang belum punah, meski sudah jarang yang memainkannya,” ujar Kimung ketika berbincang dengan INILAH.COM di kawasan Ujungberung, beberapa waktu lalu.

Lalu bagaimana hubungan antara penggemar musik cadas dengan karinding? Kimung menjelaskan, hal itu berawal sejak 2005. Saat itu, beberapa komunitas metal di Bandung mulai sadar akan lokalitas budaya sendiri, terutama seni tradisi Sunda. Apalagi saat itu perhelatan Bandung Death Fest tak hanya menampilkan grup musik beraliran keras, namun juga diselipkan penampilan kesenian tradisional.

Sejak saat itu, kata dia, hubungan antara komunitas metal dengan kelompok seni tradisi semakin intens. Menurutnya, berbagai alat musik tradisional mulai dipelajari untuk dikembangkan, salah satunya karinding.

"Akhir 2008 kita mulai belajar secara serius, berawal dari pertemuan tiap Jumat malam di Common Room. Di forum itu kita belajar dari mereka yang sudah lama menguasai alat musik ini, seperti Abah Olot. Hingga akhirnya awal 2009 terbentuk Karinding Attack,” ujar alumnus Sejarah Unpad itu.

Endang Sugriwa atau biasa dipanggil Abah Olot merupakan salah satu seniman dan perajin karinding yang disegani, bahkan hingga saat ini. Kimung mengatakan, semua alat musik yang digunakan Karinding Attack pun hasil kreativitas Abah Olot.

Bersama grupnya, dia berusaha untuk kembali mempopulerkan karinding kepada masyarakat. Mantan personel Burgerkill itu mengaku tidak percaya jika alat musik karinding akan segera punah. Agar tidak punah, kata dia, alat musik itu harus kembali dikenalkan kepada masyarakat, terutama generasi muda.

“Kita berusaha untuk melestarikan kesenian tradisional Sunda. Tapi tak sekadar melestarikan, kita juga bicara mengenai pengembangan alat musik ini,” jelas dia.

Hasilnya ternyata tidak sia-sia. Dia mengaku bangga karena banyak anak SMP dan SMA yang mulai menyukai seni tradisi Sunda, tak hanya karinding. Untuk grup karinding sendiri, dia mencatat lebih dari 100 kelompok yang sudah berdiri. Tak hanya di Bandung, tapi juga mulai menyebar di beberapa tempat di Jabar.

Menurut dia, hal itu merupakan perkembangan yang cukup baik bagi pelestarian budaya Sunda. “Tak hanya karinding, sekarang banyak anak muda yang tetap pakai baju pangsi atau iket. Tentu ini bagus,” katanya.

Dalam upaya mengembangkan karinding, dia mengatakan kolaborasi dengan genre musik lain menjadi sebuah keniscayaan. Menurut dia, kolaborasi sangat penting untuk semakin mengembangkan alat musik itu.

"Makanya karinding kita kolaborasikan dengan genre musik lain, seperti jazz, metal, juga pop. Seperti yang dilakukan seniman angklung dulu, mereka mengolaborasikan dengan musik lain sehingga bisa bertahan. Untuk karinding pun ternyata hasilnya bagus,” ujar dia.

Salah satu bentuk kolaborasinya, kata dia, saat ini dengan Peterpan. Dia menjelaskan, band yang digawangi vokalis Nazriel Ilham itu saat ini sedang menggarap album instrumental. Ariel menginginkan salah satu lagunya diisi dengan karinding. “Sekarang kita sedang garap beberapa lagu Peterpan dengan aransemen karinding. Hasilnya cukup bagus,” kata dia.

Tak hanya kolaborasi, dia mengatakan karinding pun terus mengalami perubahan. Jika awalnya hanya satu nada saja yang dihasilkan, kini sudah ada yang mencoba membuatnya menjadi beberapa nada. Seperti yang dilakukan oleh salah satu dosen STSI Bandung, Asep Nata.

Dijelaskan Kimung, Asep mencoba mengembangkan karinding toel yang mampu menghasilkan nada pentatonis maupun diatonis. Menurutnya, itu dilakukan agar alat musik ini semakin berkembang. “Kita pun berusaha mengembangkan karinding seperti yang dilakukan Pak Asep, sehingga suara yang dihasilkan tidak lagi monoton,” ucapnya. [jul]

Kamis, 14 Februari 2013

kimung berbicara

Dari masing-masing (instrument Karinding) bagian itu memiliki makna yakni, sabar dan sadar”kimung karat
Minggu malam (19/12) Formagz mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang lewat media sosial Yahoo Messenger dengan salah satu pionir grup musik Karinding Attack, Kimung yang juga dikenal sebagai penulis buku ini. Belakangan ini Karat (Karinding Attack, red) sedang melakoni jadwal yang cukup padat maka tidak aneh kalau mereka hampir selalu mewarnai event-event besar di kota Bandung. Hmm,mungkin karena musik yang dikemas mereka berbeda dengan yang lain, dan satu lagi yang menyita perhatian kami yaitu hampir semua yang memainkan alat  musik tradisional seperti Karinding, Celempung, Suling dan Toleat ini adalah mereka yang notebene pernah dan masih bermain di scene musik underground. Oke, daripada penasaran mari kita simak wawancara kami dengan Kimung berikut ini.
Formagz: Halo Kang Kimung. Apa kabar?
Kimung: Baik, Alhamdulillah sehat
Formagz : Lagi sibuk apa nih sekarang?
Kimung: Wah banyak. Hehe. Lagi siap-siap nerusin recording studio sama Karinding, nyiapin lagu-lagu buat album Karat berikutnya, dan ada niatan buat kolaborasi juga. Trus kalo menulis, saya lagi ngerampungin buku “Memoar Melawan Lupa 2008” buat mengenang 3 tahunnya tragedi berdarah konser Beside di gedung AACC, terus ngerampungin buku “Mencandu Pagi Bersama Pecandu Pagi”, untuk mengenang alm. Norvan Pecandu Pagi. Dan satu lagi ngerampungin buku “Panceg Dina Galur Ujung Berung Rebels”. Lalu bikin film dokumenter BurgerKill, judulnya “Journey Of a Heaviest Band On Earth”. Lalu saya lagi riset tentang sejarah Karinding. Dan saya juga mengajar Sejarah dan Geografi di SMP Cendikia Muda dan ngajar juga di Bandung Oral History. Oya, saya juga lagi nyiapin proyek band baru, Paperback namanya.
Formagz: Wah,sibuk banget. Ngga pusing ngatur jadwalnya tuh Kang?
Kimung: Well,saya punya 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Kebangetan banget kalo ga bisa ngatur waktunya.
Formagz: Bisa dibilang Karinding Attack itu salah satu trigger grup musik Karinding di Bandung yang kelihatannya sukses merangkul anak muda untuk tidak malu bermain alat musik tradisional. Gimana tanggapannya nih, Kang?
Kimung: Seneng yah liat anak-anak muda bersemangat banget respon alat musik Karinding. Itu juga jadi peer buat saya pribadi dan juga Karat. Utamanya sih ngebangun kesadaran sejarahnya.
Formagz: Darimana sih pertama kali tercetusnya ide buat grup musik Karinding? Dan kapan terbentuknya Karinding Attack? bisa diceritain ga?
Kimung: Sejak Oktober 2008, Awalnya dari sayap kerja Ujung Berung Rebels, namanya Bandoong Sindekeit, sebuah kelompok bisnis rokok Morbid Nixcotine. Saat itu ada saya, Ki Amenk, Wisnu Jawis, Ari Bleeding Corpse,dll. Awalnya sih kita kenal Karinding dari Mang Utun dan Mang Engkus. Jadi mereka lebih dulu main Karinding daripada kita. Lalu dari luar Bandung Sindekeit ada Man Jasad.
Formagz: Kalo diliat dari latar belakang para personilnya, mayoritas pernah dan masih bermain musik beraliran keras kan? Apa sebenarnya tujuan Kang Kimung dan kawan-kawan yang notabene suka aliran keras lalu ada niatan buat grup musik Karinding?
Kimung: Secara pribadi, saya merasa nyaman maen instrument ini, bawa tenang dan asik dimainkan dan juga alatnya yang kecil, jadi simple untuk dibawa-bawa. Ini juga bagus buat kesehatan karena kita jadi terjaga napasnya. Ga ada niat apa-apa kalo secara pribadi selain memaksimalkan si “simpel” ini jadi musik yang edan! Kalo untuk Karat, Saya kira mereka berangkat dari motivasi yang lebih mulia, yaitu pengen melestarikan dan mengembangkan kesenian ini. Tapi saya pribadi ngga semulia itu, saya. Intinya, saya cuma pengen bikin musik yang bagus, Karena movement dari kesenian sebenarnya ada di karyanya. Kalo karya kita pasti bagus pasti bisa memotivasi orang, kalo jelek ya mati sajah. Hahahaha
Formagz: Lirik-liriknya Karat sendiri terinspirasi dari mana?
Kimung: Lirik kebetulan saya yang nulis semua, kecuali lagu Kawih Pati dan Hampura Emak 2, itu Man yang nulis. Lirik-lirik dari saya sendiri terinspirasi dari keseharian dan perkataan-perkataan/ungkapan-ungkapan keseharian orang tua ketika saya masih kecil. Temanya lebih ke kritik sosial dan keseharian aja. Kalo Kawih Pati dan Hampura Emak 2 terinspirasi dari keadaan alam yang semakin buruk.
Formagz: Oiya,kenapa ada lagu Hampura Emak 2?
Kimung: Dulu Oktober 2008 kita sempet ngerekam Hampura Emak 1 dan itu yang jadi trigger band-band Karinding lain buat show up. Tapi sayang salah satu instrumennya Toleat, hancur keinjek. Padahal Toleat itu yang bawa nuansa lagu Hampura Emak 1. Kita udah usaha cari Toleat lain, tapi ga ada kualitasnya yang sama dengan Toleat yang udah hancur itu. Jadi aja bikin Hampura Emak 2 yang beda sama Hampura Emak 1. Itu juga buat kepentingan kawan, yang bikinin kita video klip. Kawan kita itu namanya Jaka. Dan dia sekarang jadi kru Dokumentasi Karat.
Formagz: Tapi kalo show masih suka bawain hampura emak 1 kan?
Kimung: Sekarang udah mulai dibawain lagi karena udah nemu toleat yang bisa mainin Hampura Emak 1.
Formagz: Cara apa lagi sih yang udah dilakuin Kang Kimung dan kawan-kawan untuk memperkenalkan Karinding ke khalayak umum selain promosi lagu dan manggung?
Kimung: Ada workshop-workshop, diskusi, bikin merchandising dan banyak kolaborasi dengan ranah seni lain kaya rupa, teater, dll. Dan juga bikin Kelas Karinding (Kekar) tiap hari Selasa dan Jumat di Common Room. Dan juga penulisan sejarah yang sekarang lagi di buat. Agar kita punya dasar yang kuat dalam memahami sebuah instrument apa lagi ini instrument tradisional. Dengan adanya legitimasi sejarah orang lain juga ga akan sembarangan nyatut instrument ini sebagai milik mereka.
Formagz: Ada makna filosofis tersendiri ga buat Karinding?
Kimung: Karinding memiliki tiga bagian yaitu pancepengan, cecet ucing, dan paneunggeulan. Dan dari masing-masing bagian itu memiliki makna yakni, sabar dan sadar. Untuk lebih jelasnya, saya sudah menulis lebih detail mengenai makna filosofis dari karinding. Kalian bisa kunjungi www.jurnalkarat.wordpress.com
Formagz: Bagaimana eksistensi budaya sunda kekinian di mata Kang Kimung?
Kimung: Saya kira Karinding sekarang jadi tren baru yah di anak muda, terutama di kalangan anak-anak metal dan punk. Dan ternyata bukan cuma Karinding, ini juga merambah ke simbol-simbol Sunda kaya iket, pangsi, kujang, dll. Saya kira semakin bergairah, dan semakin asik. Cuma saya menyayangkan, di beberapa kalangan, ini msih tetap jadi konsumsi politis dan sosiologis belaka.
Formagz: Maksudnya Kang?
Kimung: Dengan semakin bergairahnya Sunda kekinian, banyak orang yang melirik, termasuk para politisi yg bertarung di pemilihan umum apapun, mereka ga berkepentingan apa-apa selain mengkomodifikasi fenomena ini menjadi bentuk dukungan buat mereka. Kalo sosiologis, alat-alat ini masih tetap dijadikan sebagai alat yg seremonial sifatnya padahal ini kan sebetulnya kesenian rakyat, bukan kesenian seremoni buat nyambut pejabat atau apapun. Intinya, fungsinya belum kembali secara benar.
Formagz: Terakhir nih Kang, Pesan-pesan buat ForFriend?
Kimung: Dokumentasikan hidup kalian, sekarang alat dokumentasi sudah semakin banyak, mudah, dan murah, bentuk dokumentasi bisa nulis, bisa motret, bisa bikin film, musik, dll. Usahakan dokumentasi itu bisa diakses publik secara gratis. Dengan demikian hidup semua orang akan paralel dan kita hidup di satu tatanan dunia yang setara.
Well, dari bincang-bincang kami dengan Kimung pastinya ForFriend banyak menemukan istilah-istilah dan pengetahuan baru yang bikin kamu terangsang untuk cari tau lebih banyak lagi tentang alat musik Karinding yang sudah diperkenalkan oleh Kimung dan kawan-kawannya di Karat. Nuhun nya, Kang!!

sejarah Alat Musik Karinding dan Perkembangannya

sejarah Alat Musik Karinding dan Perkembangannya

Sejarah Alat Musik Karinding dan Perkembangannya. Pada mulanya karinding adalah merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengusir hama tanaman karena karakter bunyi yang dikeluarkan terdengar mendengung dengan nada low decibel. Diperkirakan telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Beberapa pengamat sejarah Sunda berpendapat bahwa alat musik ini berasal dari kebudayaan pada zaman kerajaan Pajajaran. Selain digunakan untuk mengusir hama, alat musik ini pun dipakai sebagai musik pengiring pada beberapa ritual adat masyarakat.
Karinding terbagi menjadi tiga bagian yaitu pada  ruas pertama di ujung sebelah kanan yang menjadi tempat  untuk mengetuk karinding sehingga menimbulkan resonansi pada ruas tengah. Kemudian, di ruas tengah terdapat bagian  guratan bambu yang dipotong tipis sehingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Bagian ujung paling kiri  berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, kemudian  pada ujung ruas paling kanan karinding diketuk dengan satu jari hingga  karinding pun bergetar secara beraturan yang kemudian diresonansi oleh mulut si pemain. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
Pamor Karinding beberapa tahun belakangan tidak terlepas dari peran komunitas metal scene Bandung seperti komunitas Ujungberung Rebel yang mana beberapa personil dari band beraliran cadas berinisiatif membentuk sebuah grup musik tradisi bernama Karinding Attack pada tahun 2009 dengan memainkan alat-alat kesenian sunda buhun yang salah satunya adalah karinding. Beberapa event musik lokal  bagi band cadas seperti  "Bandung Berisik" kerap memberikan ruang bagi kesenian tradisi ini untuk berkolaborasi dengan beberapa band dalam rangka turut melestarikan seni budaya daerah.

sejarah karinding banten

Karinding nyaeta alat musik tradisional buhun anu dijieuna tina palapah kawung atawa awi. karinding ayana kira-kira 300 taun baheula, di Banten mimiti punahna nurutkeun kolot ayeuna nyaeta taun 1953,lantaran eleh ku radio ceunahmah, zaman baheula karinding biasana sok dipake ulin kanu awewe atawa dipake nganjang.
Biasana karinding dipaenkeun jeung pantun atawa celempung,toleat ditambah kuhaleuang buhun.
Dina nyieuna karinding nurutkeun kolot baheula ceunahmah teu sakadaek atawa sambarangan bahan anu sok dijieun karinding nyaeta palapah kawung anu jenisna nyaeta kawung apu atawa kawung bodas atawa deui lamun tina awi, awina nyaeta awi bitung, awi hideung, awi haur anu geus bener-bener kolot.
Ngala bahan pikeun dijieun karinding kudu pas usum hujan cilantrang, hujan cilantrang eta hartina hujan anu kadenge guruhna tapi cai hujanamah teu turun, tah dina waktu eta cocok pisan pikeun ngala bahan pikarindingeun, pitoleateun jeung picelempungeun.

sejarah karinding

ka-rinding adalah satu grup musik etnik yang berasal dari kota Karawang. Dimana mereka mengusung karinding sebagai instrument utama dalam bermusik. Ka-Rinding sendiri terbentuk pada tanggal 08 April 2012, dengan personil awal 2 orang. Galang “Inoe” (Militian Wolfstein) dan Aditiya “Black” Wijaya (Friday in 13th). Konsep dari Ka-Rinding sendiri adalah eksplorasi alat musik bambu, dimana mereka tidak hanya terpaku pada satu instrument saja. Ada beberapa alat musik yang dimainkan adalah hasil inovasinya. Salah satunya modifikasi dari celempung sunda yang memiliki resonansi yang lebih ketimbang celempung biasa.
Seiring berjalannya waktu, Ka-Rinding berkembang dengan masuknya Jeihan (Friday in 13th) dan Hilva sebagai personil baru. Tidak hanya bermusik, tapi Ka-Rinding pun secara rutin melakukan workshop disanggar-sanggar dikota Karawang dengan tema “Workshop Bebas Eksplorasi Karinding dan Alat Musik Bambu”.
Tujuan terbentuknya Ka-Rinding sendiri adalah bukan semata menjadi sebuah grup atau komunitas, melainkan Ka-Rinding sendiri berharap mereka bisa menjadi keluarga atau rumah kedua bagi para personilnya dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia melalui perkembangan dunia modern. .
 

Sejarah Karinding

Karinding lekat dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah Pasundan sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa ditemukan di Kampung Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarang, satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo. Hingga sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan baik. Secara turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari mendiang Mbah Kaman era 1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era 1945. Setelah itu diturunkan pada Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai membuat grup dan merekrut pemain.
Di masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna, Sugandi, Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan Sanggar Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun 2003, usaha menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase kedua kebangkitan Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat menjadi penerus Oyon.
Karinding di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon aren-red). “Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan,karena bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda dengan pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil niranya. Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari lima Karinding yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu Karinding yang cocok dimainkan.
“Cara buatnya lumayan lama.Enaunya dikeringkan dulu lalu dibelah, kulit luarnya jangan dibuang sampai tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan dulu, bisa sampai 2 minggu, “ papar Sule, aktivis budaya Sunda.
Karinding tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat kering kawung akan cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso raut, bedog, peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon. Rentang antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari telunjuk saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini semakin jarang ditemui.
Menurut Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding terakhir adalah almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat setelah festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.
Setelah ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa Cikondang, Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding. ”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang. Kakeknya masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.
Dahulu di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat individual yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di Cikondang, main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa main karinding berarti dia sudah dewasa dan boleh menikah.
Gianjar, peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana. Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu biasanya khas dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas Cineam. Ada juga yang mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok, dan yang bambu untuk cewek,” tambah pria yang juga perajin pisau ini.
Hanya satu kunci nada yang bisa dimainkan Karinding. Oleh karena itu, Karinding mesti dipadukan dengan alat-alat musik tradisional (seperti angklung dan celempungan) untuk menghasilkan harmonisasi nada. Nada Karinding sangat ringan dan rendah. Memiliki empat bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut buntut lisa, lalu buntut sebagai pegangan. Bagian tengah yang disebut pahul berfungsi untuk mempercepat getaran dan bagian ujung yang disebut hulu sebagai sumber getaran. Hulu jika dipukul oleh tangan akan menggerakan buntut lisa. Sim salabim, keluarlah nada dari alat Karinding.
Soal bunyi dari bahan bambu dan kawung tentu saja berbeda. Sule berpendapat bunyi Karinding bambu lebih keras dari Karinding kawung. Karinding bambu dimainkan dengan cara dipetik tetapi sedangkan karinding kawung disentir (dipukul-red) sehingga lebih nyaring. Untuk perawatan biasa menggunakan kemiri yang dihaluskan, lalu dioles ke serat buntut lisa. Kalau buntut lisa menurun, harus diangkat lalu dioleskan minyak kemiri. Menyimpannya pun tak bisa sembarangan. Supaya suara tetap bening, buntut dilubangi dan diberi tali lalu digantung di atas tungku.
“Karinding harus sering dipanaskan. Pengeringan tidak dijemur di bawah matahari karena suara akan tidak nyaring. Tapi diikat dengan seutas tali dan dikeringkan di atas tungku, diunun na luhur hawu,” papar Oyon. Jelas saja, jika semakin hitam Karinding maka semakin tua pula umurnya.
Uniknya, sampai sekarang, pemain Karinding harus handal mengatur pernafasan dan pandai mengolah nada. Karinding tidak seperti alat musik lain yang memiliki ketukan tertentu. ”Karena karinding terdapat dua suara. Saat dimainkan berbeda, saat menggunakan resonansi tenggorokan, ditarik, hasilnya beda,” tutur Oyon.
Sule menambahkan, kunci untuk menghasilkan suara pada karinding, terletak pada lokbangkong (amandel-red). “Karindingnya sendiri sudah menghasilkan suara. Kemudian karena lokbangkong-nya membesar dan mengecil, maka nada yang dihasilkan pun ada nada tinggi dan ada nada rendah.“
Lagu yang dimainkan dapat berupa lagu khusus maupun sederhana, biasanya ditambahi syair dan pantun. Lagu-lagunya antara lain Rayak-RayakNanyaan (melamar istri), MegapudarSieuh-SieuhJeung Jae, dan Karinding.
Bagi masyarakat Sunda, khususnya petani, Karinding memiliki peran penting. ”Pada jaman dahulu para petani biasa menunggui sawah dengan mengusir hama. Salah satunya dengan Karinding itu,” jelas Oyon.
“Tapi ada lagu yang tidak boleh dimainkan malam hari, karena bisa mendatangkan orang hutan,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Maret enam puluh tujuh tahun yang lalu. Lagu Dengkleng tabu dimainkan dengan Karinding pada malam hari, karena menurut mitos lokal bisa mendatangkan macan Siliwangi.
Asal mula karinding sendiri masih menjadi pertanyaan. “Orang yang disini tau bahwa yang membuat karinding ini adalah seorang pangeran, yakni Kalamanda,” tutur Sule. Pangeran Kalamanda ini dipercaya membuat alat musik yang mirip dengan hewan yang disebut kakarindingan, untuk menarik perhatian lawan jenis.
Namun setelah dilacak, Sule mengatakan asal-muasal Karinding tertulis dalam naskah Sunda yang paling tua, Siksakandang Karsian. “Alat alat seperti angklung, kujang, karinding dan lain lain sudah ada ditulis disitu pada zaman didirikannya kerajaan Padjajaran.”
Berdasarkan Kamus Ensiklopedi Sunda, alat musik tradisional Karinding ternyata lahir karena cinta. Konon, Kalamanda jatuh hati setengah mati kepada seorang putri menak, Sekarwati. Ketika itu, orang tua si remaja putri yang dari kalangan bangsawan memagari ketat anaknya. Mereka dipinggit.
Kalamanda gelisah. Sudah sekian lama ia memendam rasa cintanya kepada Sekarwati. Akhirnya terbetik dalam benaknya membuat alat untuk berkomunikasi. Dari pelepah nira atau kawung, Kalamanda membuat sebuah waditra, yang kini dikenal dengan nama Karinding.
Alunan suara yang dihasilkan dari getaran sembilu kawung yang pipih itu mampu merasuk sukma Sekarwati. Akhirnya Kalamanda pun bersanding dengan gadis idamannya itu. Kalamanda menamai alat ciptaannya itu sekenanya saja, yakni Karinding. Wilayah Cineam ketika itu masih berupa rawa-rawa.
Di lingkungan seperti itu, hidup binatang sawah kakarindingan. Masyarakat di sekitar pesawahan menyukai binatang itu karena bentuknya lucu. Tentu saja sang gadis pujaan termasuk yang menyenanginya juga. Dengan spontan, Kalamanda menyebut alat musik yang dibuatnya dengan Karinding. Para pemuda lalu mengikuti jejak Kalamanda.
Yang menjadi khas adalah tiap karinding tidak bisa sama resonansinya, ”Jadi kalau misalnya kita buka pintu jadi si wanita sudah tau pasangannya dari suara dari cara mukulnya sudah tau,” papar Sule. Kini, binatang itu kini sudah tak tampak lagi. Yang membuat kita miris adalah anak-anak muda sekarang, sudah tak mengenal wujud binatang itu. Bahkan, nama seni Karinding pun masih terdengar asing.
Oyon menjelaskan, karinding di jaman sekarang memiliki dua buntut lisa, berbeda dengan karinding di jaman Kalamanda. ”Asal mulanya, buntut lisa satu, mengikuti bentuk kakarindingan.”
Saat ini Karinding bukan lagi alat musik yang fungsinya sebatas untuk mengusir hama, atau pemikat hati wanita tapi sudah menjadi bagian dari alat musik masyarakat sunda, walaupun masih terkesan eksklusif. Karinding hanya tampil di acara tertentu saja. Semisal acara di malam bulan purnama atau jika ada panggilan dari birokrat. Terlepas dari itu, tidak banyak yang tahu bahwa Karinding sudah menjadi salah satu koleksi museum di Jepang, sementara di negeri sendiri keberadaannya masih belum dilirik.